Banjir Tenggelamkan 350 Rumah Warga

KABUPATEN BANDUNG— Badan Penanggulangan Bencana Daerah mencatat terdapat sebanyak 350 rumah terdampak banjir akibat luapan Sungai Citarum di tiga kecamatan di Kabupaten Bandung.

“Total keseluruhan sarana dan prasarana yang terendam banjir, yaitu 350 rumah, 9 sekolah, dan 25 tempat ibadah,” ujar Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Bandung, Sudrajat, kemarin (14/11).

Banjir yang melanda tiga kawasan di Kabupaten Bandung yakni Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang telah memasuki hari kesembilan. Meski pada Rabu banjir mulai surut, namun material lumpur masih memenuhi areal pemukiman warga.

Banjir ini membuat 463 warga dari 140 kepala keluarga diungsikan akibat terdampak banjir. Dari jumlah tersebut, di antaranya 59 lansia, 31 balita, 4 ibu hamil, dan dua orang disabilitas yang diungsikan.

Para pengungsi ditampung di tujuh lokasi evakuasi yang terdiri dari bangunan aula, kantor kecamatan, rumah ibadah, dan kantor rukun warga.

“Yang paling banyak (pengungsi) di Gedung Inkanas Kecamatan Baleendah hingga mencapai 213 jiwa,” katanya.

Sementara itu, Warga di tiga kecamatan di Kabupaten Bandung, yang terdampak banjir masih tetap bertahan di sejumlah titik pengungsian meski genangan telah surut.

Keadaan tersebut seperti di Gedung Inkanas, Kecamatan Baleendah, Rabu, ada 100 jiwa lebih warga memilih tetap bertahan di tempat pengungsian, meski tahu bahwa banjir di wilayahnya telah surut.

Pengungsi di Gedung Inkanas kebayakan berasal dari daerah Cigosol dan Ciputat, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Saat hujan melanda kawasan tersebut, dapat dipastikan air akan menutupi setengah badan rumah atau sekitar satu meter.

“Pulang kalau beberapa hari ga ujan aja buat bersih-bersih tapi kalau ujan yah balik lagi ke sini,” ujar salah seorang pengungsi, Euis Rohmah, di Gedung Inkanas,” ucapnya.

Euis datang ke Gedung Inkanas sejak enam hari lalu. Ia bersama lima orang anggota keluarganya sudah terbiasa menghuni Gedung Inkanas saat musim hujan tiba.

Saat banjir melanda area rumahnya, sudah dipastikan kondisi keseharian lumpuh. Meski begitu, anak-anaknya tetap bersekolah apalagi proses pembelajaran dipindahkan ke Gedung Kwarcab, dekat dengan lokasi pengungsian.

“Kan sama sekolahnya kerendem (banjir), dipindahin ke gedung pramuka (Kwarcab). Jadi dekat, anak-anak tetap bisa sekolah,” katanya.

Senada dengan Euis, Deni Supandi menceritakan, saat kepengungsian ia hanya membawa barang-barang berharga serta keperluan sekolah anak-anaknya saja. Sementara barang-barang lain ia tinggalkan di rumah.

Menurut dia, aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan di rumah dipindahkan ke pengungsian. Hanya saja yang membedakan ia harus berbagi tempat tidur, mandi, serta aktivitas lain bersama warga lain.

“Di sini juga saya jualan. Kan di rumah ngewarung, saya ambil kebutuhan pokoknya kalau di pengungsian belum ada bantuan,” kata dia.

Ia pun tetap memilih tinggal dipengungsian dibanding di rumahnya. Karena meskipun surut, lumpur tetap memenuhi kediamannya.”Misal sekarang dibersihin lumpurnya, hujan lagi nanti lumpur lagi, cape kang,” tambahnya.

 

(net)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *