Perlu Penguatan Pendidikan Berbasis Kebudayaan

JAKARTA – Budayawan Fahmi Prihantoro menilai pelaksanaan Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) pada Desember mendatang, mubazir. Pasalnya, hingga saat ini konsep kebudayaan Indonesia ke depan masih belum jelas. Meski sudah ada UU Pemajuan Kebudayaan tapi belum ada konsep operasional yang lebih konkrit.

“Untuk menyamakan persepsi tentang konsep mestinya perlu. Forumnya bisa bermacam macam tidak harus kongres. Kalau hanya membicarakan hal-hal teknis tidak perlu dalam kongres.

Malah mubazir dan buang anggaran,” kata Fahmi menyikapi kongres akbar KKI yang akan dihelat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Dosen di Universitas Gadjah Mada ini menambahkan, bidang kebudayaan belum dianggap sesuatu yang penting bagi negara. Begitu juga pemerintah daerah banyak belum paham tentang pentingnya kebudayaan. Masih dipahami kepada seni, tradisi, dan cagar budaya. Padahal kebudayaan lebih luas dari itu, menyangkut gagasan, perilaku dan produk.

“Saat ini manusia Indonesia terutama generasi muda tidak paham tentang kebudayaan karena tidak dibentuk sejak dini. Pendidikan punya peran penting. Mestinya kebudayaan berkaitan dengan nilai-nilai identitas bangsa masa lalu, masa kini dan masa depan,” beber Fahmi.

Dijelaskan, ada teori trikon dari Ki Hajar Dewantara yang relevan. Pertama, konvergen bahwa kebudayaan siap berubah. Kedua, konsentrik bahwa kebudayaan tetap tidak kehilangan identitas yang ada. Ketiga, kontinue bahwa kebudayaan tidak terputus dan terus terjadi.

“Nenek moyang kita mampu memfilter budaya asing. Budaya India yang masuk tidak sama persis dengan asalnya. Begitu juga budaya Arab/Islam tetap menunjukkan keindonesiaan. Generasi muda sekarang tidak punya itu. Budaya asing tetap ditelan mentah mentah tanpa filter. Hasilnya budaya barat, Korea, Jepang tetap seperti dari asalnya,” tuturnya.

Untuk mengatasi itu, menurut Fahmi, peran terpenting ada di pundak pendidikan. Penguatan pendidikan yang berbasis kebudayaan justru sangat penting. Selama ini pendidikan masih belum menyentuh aspek kebudayaan tapi masih dominan kognitif.

 

“Kebudayaan dalam kurikulum pendidikan perlu. Selain mengenal budaya sebagai produk ( seni, tradisi) juga perlu budaya sebagai gagasan dan perilaku yang berbasis nilai identitas bangsa,” pungkasnya.

 

(esy/jpnn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *