Perjuangan Menjadikan BBM Satu Harga

Suara azan subuh terdengar berkumandang di ujung Pulau Sumatera. Rombongan BPH Migas dan Pertamina pun bergegas menelusuri Bukit Barisan untuk meresmikan SPBU Kompak Bandar Negeri Suoh, Lampung Barat, yang telah beroperasi sebulan. Sebelumnya,warga harus menempuh jarak 40 km untuk menuju SPBU terdekat.

TIGA jam perjalanan pertama, jalan yang ditempuh masih mulus beraspal. Lalu, tiga jam berikutnya, jalan yang dilalui mulai menyempit, berbatu, dan berkerikil. Banyak rumah penduduk di sekeliling jalan yang terbuat dari kayu.Mayoritas masih beralas tanah. Dua hingga tiga kali dalam seminggu, sesuai dengan kontrak, mobil tangki

Bacaan Lainnya

Pertamina harus melewati jalanan tersebut guna memasok BBM ke SPBU Kompak Bandar Negeri Suoh. Medan yang kurang bersahabat bisa menjadi tantangan tersendiri.Jika hujan turun, jalanan licin dan berbukit menjadi berbahaya untuk dilalui mobil tangki Pertamina berkapasitas 5 kiloliter.

Jalur memutar pun ditempuh dengan jarak lebih jauh dan waktu tempuh lebih lama. Kondisi itulah yang harus dihadapi para awak mobil tangki (AMT). Kadang truk tangki yang mereka kendarai harus berhenti dan menunggu untuk dapat masuk ke Suoh. BBM di SPBU Kompak 26.348.05 Suoh, Lampung Barat, dipasok dari TBBM (terminal bahan bakar minyak) Panjang. Jauhnya 171
km.

Sebelum ada SPBU, warga harus menempuh jarak 40 km ke SPBU terdekat di ibu kota Kabupaten Lampung Barat, Liwa. Dibutuh kan waktu 1,5 jam ke sana. Tidak heran jika mayoritas warga memilih membeli bensin secara eceran seharga Rp 11 ribu–Rp 12 ribu per liter untuk premium dan solar Rp 8 ribu per liter.

Padahal, pemerintah telah menetapkan harga JBT (jenis BBM tertentu). Yakni, premium Rp 6.450 per liter dan solar Rp 5.150 per liter. Pemerataan harga dan keterjangkauan BBM diperlukan masyarakat. Sebab, BBM adalah kebutuhan vital.

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa menyatakan, BBM satu harga merupakan wujud komitmen pemerintah untuk keadilan di bidang energi. ”BBM kebutuhan hajat hidup banyak orang,’’ ujarnya saat peresmian SPBU Kompak Suoh akhir pekan lalu.

Meski begitu, program itu menemui sejumlah kendala. Misalnya, perizinan dari pemda yang tidak kunjung keluar, minimnya margin, dan mahalnya ongkos angkut. Di Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara, misalnya, ongkos angkutnya saja bisa

mencapai Rp 38 per liter karena BBM diangkut menggunakan pesawat. Jadi, ongkos angkutnya harus disubsidi.
Secara nasional, total biaya distribusi yang harus ditanggung Pertamina bisa mencapai Rp 1 triliun untuk program tersebut.

Bukan hanya itu, margin BBM satu harga pun sangat minim. Di lokasi 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), konsumsi BBM hanya 207 ribu kiloliter per tahun untuk solar dan premium. Rata-rata konsumsi solar bersubsidi dan premium mereka hanya 1,32 persen jika dibandingkan dengan alokasi konsumsi solar bersubsidi dan premium 15,6 juta kl dan 11,8 juta kl per tahun. ’’Mencari investor di wilayah 3T tidak gampang karena kan mereka ukur investasi dan infrastruk turnya.”

Investor SPBU Kompak 26.348.05 Suoh Irwan menyebutkan, untuk membangun SPBU tersebut, dibutuhkan dana Rp 4 miliar. Balik modal diperkirakan memakan waktu 4–5 tahun. ’’Tulus ikhlas untuk membantu masyarakat. Insya Allah cukup. Insya Allah ke depannya bisa lebih baik meski saat ini belum,’’ tuturnya.

Pjs General Manager MOR II Pertamina Putut Adriatno menjelaskan, fasilitas di setiap penyalur BBM satu harga telah dilengkapi teknologi memadai untuk sistem pengawasan agar tepat sasaran. ’’Kami secara berkala melakukan pengecekan seperti CCTV-nya, katalisatornya. Secara berkala dievaluasi dan diverifikasi BPH Migas,’’ terangnya.Berdasar data BPH Migas, Indonesia memiliki 7.080 penyalur BBM. Kondisi itu tidak sebanding dengan luas wilayah darat Indonesia.

 

(virdita/c14/oki)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *