Cerita di Balik Panggung Festival Gandrung Sewu Banyuwangi

Tidak mudah menjadi penari Festival Gandrung Sewu. Dibutuhkan kerja keras dan usaha ekstra. Mereka harus melalui proses seleksi dan latihan yang ketat.

RESVIA AFRILENE, Banyuwangi

SUASANA SDN Kepatihan Banyuwangi hiruk pikuk Sabtu pagi (20/10). Ruang-ruang kelas bercat hijau terlihat penuh. Puluhan anak sedang dirias di dalamnya. Mereka sudah mengenakan busana penari gandrung. Lengkap dengan omprok dan mahkota gandrung yang ditenteng ke sana kemari penuh rasa bangga.

Sekolah di seberang Taman Blambangan itu menjadi lokasi persiapan akhir Festival Gandrung Sewu. Sebab, letaknya hanya sekitar 1 kilometer dari lokasi event di Pantai Boom. Keribetan juga terasa di luar ruang kelas. Berjalan mengitari area sekolah bak dikelilingi panggung gandrung. Halaman, koridor, sampai pendapa jadi tempat pemanasan ribuan penari.

”Baru pertama kali bisa ikut. Tahun lalu nggak lolos,” ujar Zahra Bina Dina, penari yang tengah dirias. Dia terlihat bersemangat. Berkali-kali Dina membetulkan lipatan sewek alias jaritnya. Bocah 10 tahun tersebut adalah satu-satunya penari gandrung yang lolos seleksi ketat dari SDN 3 Tampo.

Bagi Dina, terpilih sebagai penari Festival Gandrung Sewu adalah prestasi besar. Maklum, proses seleksi memang ketat. Dari tiga ribu lebih pendaftar, hanya 1.173 orang yang berhak tampil di Pantai Boom Sabtu sore itu. ”Sudah latihan lebih dari setahun. Lomba di Kecamatan Cluring menang, baru diajukan ikut seleksi,” ucap Dina sambil tersipu malu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *