Berbagi kepada Sesama Korban Gempa ala Kampung Jawa di Sigi

Menurut Mbok Atun, dapur umum itu berawal dari tawaran Maharani, kenalannya sekaligus pengurus Ponpes Tahfiz Quran Karomah yang terletak di Jalan Zebra, Palu. Dia ingin berbagi makanan dengan pengungsi yang tinggal di posko. Namun, yang dimiliki hanya dana.

Perempuan yang akrab disapa Mbak Rani itu mengaku tidak punya tenaga yang cukup untuk memasak. Mbok Atun dan empat tetangganya setuju membantu. Mereka adalah Marsini, Wariyati, Fitriyah, dan Dewi. Pada hari pertama, kelimanya memasak 40 liter beras. Hasilnya adalah 350 nasi bungkus. ’’Lauknya didatangkan dari Jakarta. Makanan kaleng,’’ kata Mbok Atun.

Bacaan Lainnya

Ranilah yang lantas mengambil ratusan bungkus nasi yang sudah jadi itu bersama teman-temannya. Kemudian mendistribusikannya. Pada hari kedua dan seterusnya, terang Mbok Atun, semakin banyak tetangga yang mendatangi dapur umum di rumahnya. Yang mayoritas dari ibu-ibu keluarga Jawa di desa tersebut. Mbak Rani pun memutuskan untuk menambah dana. Yang dipercayakan sepenuhnya kepada Mbok Atun.

Beras yang dimasak ditambah menjadi satu kuintal. Lauknya juga tidak lagi didatangkan dari Jakarta. Sebab, pedagang pasar setempat mulai buka. ’’Yang membantu semakin banyak karena daripada nggak ada kegiatan di rumah. Pikiran malah ke mana-mana,’’ kelakar Mbok Atun.

Menyibukkan diri di dapur umum, kata dia, selain untuk membantu sesama, juga bisa jadi sarana melawan trauma. Sebab, jejak psikis bencana itu masih membekas. Mbok Atun, misalnya, masih ingat jelas detik-detik terjadinya bencana yang telah lebih dari dua pekan berlalu tersebut.

Ketika itu, perempuan asal Desa Bagorejo, Kecamatan Srono, Banyuwangi, tersebut hendak ke musala. Saat berada di depan pintu rumah, dia bermaksud membetulkan letak mukena di wajah. Tiba-tiba, muncul dorongan keras dari belakang. Mbok Atun pun terjungkal. Dia sempat mengira telah didorong seseorang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *