Romo Leo Joosten, Pelestari Budaya Batak Karo

Begitu menginjakkan kaki di Tapanuli Utara pada 1971, Leo Joosten langsung jatuh cinta dengan tanah Batak. Berbekal cinta itu pula dia mendirikan Museum Pusaka Karo.

FERLYNDA PUTRI

HIDUNGNYA mancung dan besar. Matanya kecokelatan. Kulitnya putih. Khas bule. Leo memang bukan orang Indonesia. Dia lahir di Nederwetten, Belanda. Tak ada moyangnya yang berasal dari Indonesia. Hanya dua hal yang menandakan kebatakannya: marga Ginting Suka dan kain beka buluh yang disampirkan di bahunya.

Marga di belakang nama Leo itu merupakan pemberian. Leo telah dianggap sebagai keluarga Batak. Salah satunya karena dedikasinya melestarikan budaya suku Batak.

Apresisasi tak hanya datang dari Sumatera Utara. Pada 25 September lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberikan penghargaan Kategori Pelestari dalam acara Anugerah Kebudayaan 2018.

”Saya kumpulkan barang-barang milik Indonesia di Belanda. Tidak ada yang bayar,” kata Leo saat ditemui seusai acara. Kegiatan memulangkan barang yang hampir seluruhnya dari Batak itu dimulai Leo belasan tahun lalu. Dia tak begitu ingat kapan mulai mengumpulkannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *