Kebijakan Pemerintah Kurang Nendang

JAKARTA – Neraca perdagangan pada Agustus kembali loyo. Padahal, pemerintah sudah mengerek pajak impor, dan penerapan biodiesel 20 persen (B20). Kebijakan pemerintah masih kurang nendang?
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, nilai impor yang masih relatif tinggi belum mampu diimbangi dengan peningkatan kinerja ekspor. Sehingga secara bulanan membuat neraca perdagangan pada Agustus kembali defisit 1,02 miliar dolar AS.

BPS mencatat, ekspor pada Agustus turun sebesar 2,90 persen menjadi 15,82 miliar dolar AS. Padahal, pada Juli 2018, nilai ekspornya 16,29 miliar dolar AS.

Bacaan Lainnya

Penurunan ini disebabkan oleh merosotnya ekspor nonmigas 2,86 persen, yaitu dari 14,85 miliar dolar AS menjadi 14,43 miliar dolar AS. Ekspor migas juga turun 3,27 persen dari 1,43 miliar dolar AS menjadi 1,38 miliar dolar AS.

Secara tahunan, kata dia, ekspor Agustus memang mencatat kenaikan 4,15 persen dari 15,19 miliar dolar AS menjadi 15,82 miliar dolar AS. Namun, impor periode tersebut juga mengalami kenaikan dengan persentase lebih tinggi yakni sebesar 24,65 persen 16,84 miliar dolar AS dari 13,51 miliar dolar AS.

“Ekspor kita masih ba­gus, tetapi yang jadi masalah impornya tumbuh lebih tinggi,” katanya saat memaparkan kinerja ekspor impor di gedung BPS, Jakarta.

Menurutnya, kenaikan impor Agustus disumbang oleh impor migas sebesar 14,5 persen menjadi 3,05 miliar dolar AS dari periode Juli sebesar 2,66 miliar dolar AS. Sedangkan impor non migas, walaupun nilainya tinggi, namun secara persentase pertumbuhan turun 11,79 persen menjadi 13,79 miliar dolar AS dari realisasi impor Juli 15,64 miliar dolar AS.

Mendapat laporan neraca perdagangan masih loyo, Presiden Jokowi tidak tinggal diam. Dia langsung memanggil Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, serta Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso ke Istana Negara.

Darmin mengatakan, pertemuan ini untuk membahas perekonomian dan defisit neraca perdagangan. “Kita memang membahas neraca perdagangan. Kita mereview-nya, apa yang jalan, apa yang tidak jalan,” katanya.

Pemerintah, kata dia, juga sudah mulai menyusun strategi apa saja yang akan dilakukan untuk terus menekan defisit neraca perdagangan. Saat ini yang sudah dilakukan pemerintah adalah menaikkan pajak impor dan menggenjot penggunaan B20 untuk menekan impor BBM.

“Artinya, kalau dilihat neraca perdagangan, itu jumlah sih menurun, ya kan? Bulan lalu neraca perdagangan kita defisitnya 2,02 miliar dolar AS, akhir bulan Agustus, defisitnya 1,02 miliar dolar AS,” jelas dia.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, sebenarnya kenaikan volume impor minyak tak banyak. Defisit tersebut, lebih disebabkan oleh kenaikan harga minyak yang saat ini sudah mencapai kisaran 70 dolar AS per barel. Padahal, pada Agustus 2017 harga minyak berada di kisaran 48 dolar AS per barel.

“Neraca minus itu bukan kenaikan konsumsi. Tapi lebih kepada harga,” kata Jonan di gedung Kementerian ESDM, Jakarta, kemarin.

Dengan kenaikan harga itu, kata dia, neraca perdagangan migas sudah pasti defisit terjadi karena kebutuhan minyak di dalam negeri mencapai 1,4 juta barel per hari. Sedangkan produksi minyak nasional hanya sekitar 800 ribu barel per hari.

Meski demikian, kata Jonan, sektor migas menyumbang surplus di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari migas tahun ini bisa mencapai Rp 200 triliun. Ditambah minerba totalnya Rp 240 triliun. Jumlah ini lebih besar dibanding total anggaran untuk subsidi energi.

“Subsidi energi Rp 149 triliun. Target PNBP migas dan minerba di APBN itu Rp156 triliun. Outlook-nya Rp240 triliun. Jadi masih ada surplus,” tukasnya.

Sebelumnya, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman memprediksi jika kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti pajak impor barang konsumsi tidak akan mampu mengatasi defisit perdagangan. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada Januari-Juni 2018, nilai rata-rata impor barang konsumsi hanya 9,2 persen dari seluruh nilai to­tal impor. Sementara itu, impor barang raw material dan barang modal 74,6 persen dan 16,1 persen.

 

(rmol)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *