Hari – Hari Penuh Trauma Para Korban Gempa Lombok (2/Habis)

Trauma berkepanjangan menghantui korban pascagempa. Terutama anak-anak. Tim trauma healing berupaya keras menyembuhkan luka psikologis mereka. Salah satunya dengan terapi bermain.

UMAR WIRAHADI, Mataram

Bacaan Lainnya

TENDA berukuran 5 x 5 meter itu baru saja dipasang kemarin pagi. Beberapa saat kemudian, anak-anak mulai berdatangan. Lari-lari kecil diantar orang tua. Beberapa yang lain datang bersama teman sebaya.

Anak-anak itu, yang berasal dari lain desa, kecamatan, bahkan beda kabupaten, dipertemukan karena bencana gempa yang mengguncang Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka sama-sama pengungsi di kompleks RSUD Provinsi NTB.

Kini mereka seperti saudara. Atau tetangga dekat karena berlainan tenda pengungsian. “Halo, anak-anak yang hebat. Bagaimana kabarnya,” kata seorang perempuan. “Kabar baikkkkk,” jawab anak-anak ceria. “Mari masuk semua,” ujar perempuan itu lagi.

Namanya Bunga Tiku Masakke. Dia adalah anggota tim trauma healing dari Play Therapy Indonesia (PTIndo). Bunga dan timnya datang langsung dari Jakarta pada Rabu pekan lalu (15/8). Tujuannya, membantu pemulihan psikis anak pascagempa.

Anak-anak tadi langsung meriung di dalam tenda. Membentuk formasi duduk melingkar. Celotehan ala anak-anak membuat suasana cair. Tidak ada jarak antarmereka. Seolah-olah anak-anak dan tim trauma healing sudah kenal lama. “Itu karena mereka sudah merasa diterima. Jadi, tidak ada beban,” ujar perempuan 45 tahun tersebut.

Anak-anak yang berusia 7 hingga 12 tahun itu langsung larut dalam permainan yang dirancang tim PTIndo. Ada sekitar 11 anak. Ditangani lima tim trauma healing. Anak-anak langsung bermain riang gembira. Memang itu tujuannya: mengembalikan mental anak.

Mulai menirukan gerakan anggota tim hingga melakukan relaksasi. Salah satunya, mereka diminta berbaring. Lalu, sang psikolog membacakan sebuah kisah tentang suatu istana yang indah.

Di halamannya ditumbuhi aneka bunga. Anak-anak pun berimajinasi menjadi bagian dari penghuni istana itu. “Ini menimbulkan energi positif,” tutur Fibrina Bian Rhapsodia, anggota tim trauma healing lainnya.

“Ini menanamkan rasa percaya diri pada anak,” tambahnya.

Suasana makin riuh oleh lantunan lagu tentang gempa. Bunyinya: Kalau ada gempa, lindungi kepala. Kalau ada gempa, sembunyi di kolong meja. Kalau ada gempa, jauhi kaca. Kalau ada gempa, lari ke lapangan terbuka.
Liriknya sederhana, tetapi mengena. Pesannya pun mudah dipahami. Mereka menyanyikannya dengan diikuti gerakan yang sesuai dengan lirik lagu.

Bian -sapaan Fibriana Bian Rhapsodia- bilang, anak-anak sering menyampaikan pesan lagu itu ke orang tua masing-masing. Mengingatkan jika terjadi gempa harus melakukan sejumlah gerakan sesuai dengan isi lagu. “Orang tuanya sampai datang cerita. Anak mereka sudah bisa memberi saran ke orang tua,” ungkapnya, lalu tertawa.

Di akhir pertemuan, anak-anak diminta untuk menyusun sebuah bangunan. Bahannya dari kotak kardus. Meski begitu, mereka harus membayangkan yang dibangun adalah sebuah istana. Sehingga harus terlihat indah dan kukuh. Itu semacam perumpamaan bagi anak-anak agar timbul rasa percaya diri.

Anak-anak bekerja kelompok. Kardus itu lantas ditumpuk-tumpuk. Lalu dihias. Kardus yang paling lebar dan besar diletakkan di bawah. Begitu seterusnya. Susun-menyusun. Sehingga berbentuklah seperti miniatur bangunan. Lengkap dengan kertas karton hias sebagai ornamen bangunan. “Wow, hasilnya keren,” kata Rahmat Santosa, anggota tim psikolog lainnya.

Penyembuhan dampak gempa memang membutuhkan waktu yang lama. Bagaimana tidak. Gempa bumi terjadi secara tiba-tiba. Tanpa ada tanda-tanda. Kondisi itu menimbulkan rasa takut dan cemas. Namun, Rahmat Santoso optimistis. Anak-anak yang mengikuti pemulihan trauma di RSUD Provinsi NTB pelan-pelan mulai melupakan dampaknya. “Melihat perubahan anak-anak ini, kami sangat bahagia.”

Salah satunya Tiara. Bocah 10 tahun asal Pemenang, Kabupaten Lombok Utara (KLU), itu kini telah menjadi sosok yang periang. Bahkan, dia salah seorang yang paling aktif. Jika waktunya materi, dia rela menjemput teman-teman sebayanya di tenda-tenda pengungsian. “Senang sekali. Banyak permainannya,” katanya.

Selain di area RSUD Provinsi NTB, trauma healing juga diadakan di Desa Senggigi. Di sana ada sekitar 30 anak yang ikut. Kawasan wisata yang menjadi ikon NTB itu memang termasuk daerah yang cukup parah terdampak gempa. Ratusan rumah warga dan bangunan hotel roboh.

Kini area yang terkesal selalu ramai oleh wisatawan itu menjadi sepi. Sejumlah hotel tutup. Wisatawan juga takut. “Di sana ada sekitar 30 anak yang ikut. Kami terus rekrut lebih banyak lagi,” tutur Bunga Tiku Masakke.

Bagaimana dengan orang dewasa? Bunga menyampaikan, penyembuhan trauma atas orang dewasa berbeda dengan anak-anak. Jika anak lebih banyak bermain, orang dewasa lebih banyak upaya untuk menenangkan diri. Itu dilakukan melalui doa, mengaji, atau salat. “Ritual ibadah bisa membuat orang menjadi lebih ikhlas menerima keadaan,” ujarnya.

Gempa bumi yang melanda Lombok memang dahsyat. Sebagian korban membayangkan masa depannya menjadi suram. Bukan karena rumahnya hancur. Tetapi, lebih pada ketahanan fisik. Sebab, ada sejumlah korban yang fisiknya tidak lagi sempurna.

Ahmad Hamzah, 29, salah satunya. Pria asal Desa Bentek, Kecamatan Gangga, KLU, itu harus kehilangan satu kakinya. Pekan lalu kaki kanannya diamputasi. Kata dokter, pembuluh darah di bagian kakinya pecah akibat tertimpa reruntuhan beton rumahnya. Kakinya diamputasi agar virus tidak menjalar ke seluruh tubuh.

“Memang rasanya berat sekali. Tapi, ini adalah kenyataan yang harus saya terima,” kata Ahmad Hamzah dengan lirih. Korban lain adalah Yunita. Kaki kiri ibu muda berusia 30 tahun itu diamputasi. Kemarin dia tampak menangis saat diperban petugas medis. “Saya belum bisa membayangkan. Bagaimana cara saya nanti menggendong anak yang masih bayi,” kata perempuan itu sedikit terisak. (*/c10/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *