Perayaan HUT RI ke-73 di Medan Berubah

GEGAP gempita Hari Kemerdekaan ke-73 Republik Indonesia di kawasan Sungai Deli tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada upacara, tidak ada pohon pinang dengan pernak pernik hadiahnya.

Sungai Deli di kawasan Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun, Medan, Sumatera Utara tampak sepi. Hanya terlihat beberapa anak kecil yang sedang mandi dan ibu-ibu yang mencuci di tepian sungai. Pada tahun sebelumnya, kawasan Kampung Aur selalu menarik perhatian. Beragam atraksi dilakukan warga sekitar untuk memeriahkan perayaan kemerdekaan.

Panjat pinang, perang bantal, balap ban apung dan makan kerupuk selalu jadi tontonan masyarakat. Yang tidak kalah adalah, upacara bendera di dalam sungai. Belum lagi kaum ibu yang dengan berani memanjat batang pinang untuk berebut hadiah. “Bah, memang gak ada lagi acara di sini bang? Padahal kami jauh dari Tembung,” kata Fadli Syahputra yang kebetulan melintas di jembatan Jalan Suprapto, Jumat (17/8).

Ternyata buaya jadi penyebabnya. Beberapa waktu lalu, warga sempat dihebohkan dengan kemunculan beberapa ekor buaya di Sungai Deli. Ada sekitar tiga ekor dengan satu indukan yang cukup besar.

Seekor buaya anakan berhasil ditangkap pada Selasa (17/7) lalu. Buaya muara itu ditangkap di kawasan Gang Nasional, Kelurahan Sungai Mati, Kecamatan Medan Maimun berkat perangkap masyarakat. Warga memang sudah lama dirundung ketakutan.

Buaya yang lain tetap sering bemunculan. Warga semakin takut. Sehingga acara 17-an di dalam sungai batal digelar. “Kami enggak tau buaya-buaya itu ditangkap atau belum. Makanya kami takut juga. Kemarin sudah rapat dengan Kepling dan sudah diputuskan batal digelar,” kata Reza Anshori Chaniago, Ketua Sanggar Perkumpulan Remaja Kampung Aur Syahbandar (Perkasa).

Sanggar Perkasa sudah menggelar Perayaan kemerdekaan di kawasan Kampung Aur sejak mereka berdiri 1982 silam. Sedangkan perayaan kemerdekaan di Sungai Deli baru dilakukan sejak 2012.

Soal isu buaya itu, masyarakat Kampung Aur juga sering berpatroli. Mereka mencoba berburu sang predator yang mengancam itu. Sepanjang isu buaya itu bergulir, aktifitas warga di sungai kian menghilang. Anak-anak takut mandi. Ibu-ibu takut mencuci baju.

Mereka juga takut jika buaya sewaktu-waktu naik ke pemukiman yang tepat berada di tepi. Hal itu membuat perayaan tidak dilakukan di sungai. Namun, perayaan tetap digelar, hanya tempatnya yang berubah. Perlombaan dibuat di sebuah lapangan kecil di tengah pemukiman.

Memang tidak luas. Namun apa boleh buat. Sanggar Perkasa ingin anak-anak di Kampung Aur tetap tersenyum. Sejumlah permainan diperlombakan. Mulai dari terompah, balap sendal batok, lomba gundu di atas sendok, memasukkan paku dalam botol hingga makan kerupuk. Pesertanya mulai dari anak kecil hingga kaum ibu.

Acara tetap meriah, meski mereka terus merasa diteror buaya. Tujuan mereka, ingin permainan khas 17-an tetap dilestarikan. Ditengah arus globalisasi yang terus meninggalkan kebudayaan. “Kita enggak mau anak-anak ini lupa dengan permainan seperti ini. Makanya harus tetap di gelar. Kelak isu buaya itu hilang, akan kami buat lagi di sungai,” ujarnya.

Kemeriahan tetap terasa saat perlombaan. Anak – anak begitu girang, saat ikut lomba. Begitupun kaum ibu. Saat lomba makan kerupuk, beberapa ibu berbadan tambun tertawa terbahak-bahak sambil berjoget seirama musik koplo aransemen.

Mereka berharap, pemerintah mendengar keluhan ini. Karena ini juga mengancam kehidupan mereka. Pemerintah harus membuat langkah. Setidaknya buaya itu diburu dan diamankan.

“Ini baru pertama kali tidak digelar di sungai. Kami pasti kecewa. Kami masyarakat Sungai Deli merasa terjajah. Kita bukan merdeka dengan keberadaan predator itu. Kami pengin pemerintah langsung terjun menangkap buaya itu. Sampai saag ini kami tidak pernah lihat mereka turun. Seakan tidak peka dengan kondisi ini,” tandasnya.

 

(pra/JPC)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *