Kisah Kakak Beradik Raih Medali Emas Olimpiade Matematika di Korsel

Kompak beradu meraih prestasi di ajang olimpiade matematika. Dua putri asal Balikpapan ini meraih medali emas dalam kompetisi World Mathematics Invitational (WMI) di Korea Selatan (Korsel).

DINA ANGELINA, Balikpapan

Bacaan Lainnya

Semangat Noriko Khang dan Yuriko Khang terisi penuh. Kali ini tak ada rasa takut untuk menghadapi kompetisi tingkat internasional. Alih-alih pusing memikirkan kompetisi, sebaliknya kedua kakak beradik itu malah senang. Bagaimana tidak, mereka ditemani oleh orang tua dalam perjalanan tersebut. Anggap saja kesempatan ini sekaligus bisa menjadi momen liburan bagi keluarga kecil tersebut.

Noriko dan keluarga memang tiba terlebih dahulu sebelum waktu lomba. Ada satu hari yang bisa dimanfaatkan untuk istirahat dan refresh otak. Tak jauh-jauh, mereka menghabiskan waktu cukup dengan keliling Kota Seoul.
“Senang bisa coba memakai baju tradisional Korea Selatan, hanbok,” kata Noriko kepada wartawan koran ini.

Kesempatan berjalan-jalan sebelum kompetisi ini cukup ampuh. Duo saudara Khang itu bisa menjalani lomba tanpa beban. Tepatnya saat kompetisi WMI 2018 berlangsung Sabtu (14/7). Jumlah kompetitornya tidak terhitung. Bahkan total peserta dalam ajang itu mencapai 1.200 orang.

Setidaknya ada 23 negara yang berpartisipasi dalam WMI 2018. Sebagian besar peserta berasal dari Asia misalnya Taiwan, Tiongkok, Singapura, Vietnam, Indonesia, dan Korea Selatan. Lalu ada pula dari Afrika Selatan, Bulgaria, Amerika Serikat, dan lainnya. Ribuan peserta ini terbagi dalam 13 kategori atau grade perlombaan. Mulai tingkat TK hingga SMA.

Pelaksanaan lomba seluruh kategori dilakukan secara bersamaan. Mereka hanya terpisah ruang untuk membedakan grade. Kiko, sapaan akrab Noriko, mengambil lomba untuk siswa level kelas 5 SD, sedangkan Shin Shi, sapaan Yuriko, dengan level kelas 3 SD. Meski berpartisipasi dalam kompetisi yang sama, Noriko dan Yuriko memiliki jalan yang berbeda hingga bisa menjadi peserta WMI 2018.

Kiko menjadi salah satu peserta yang datang berdasarkan undangan. Bukan tanpa alasan, perempuan yang duduk di bangku kelas 6 SD itu sudah pernah meraih medali emas WMI dua tahun berturut-turut. Sementara sang adik, Shin Shi masih harus menjalani proses seleksi agar bisa berkompetisi langsung di Negeri Ginseng tersebut.

Walau begitu, bocah yang duduk di bangku kelas 4 SD itu sudah punya pengalaman di ajang WMI. Dia berhasil menyabet medali emas WMI 2017 di Vietnam dan medali perak WMI 2016 di Kamboja.

Dalam kompetisi WMI, setiap peserta mendapatkan waktu selama 80 menit untuk menjawab pertanyaan. Ada 15 soal berbentuk pilihan ganda dan 10 soal dalam bentuk isian. Kiko bercerita, waktu yang diberikan panitia masih kurang. Dia tidak sempat memeriksa ulang jawabannya setelah mengisi lembaran soal itu.

Dia menambahkan, kesulitan bukan hanya soal waktu yang kurang. Sebagai peserta, Kiko justru merasa bahasa menjadi salah satu kendala selama kompetisi. Apalagi pendamping mereka hanya mampu berbahasa Mandarin dan Korea. Meski ada pula yang bisa berbahasa Inggris, namun pelafalannya tidak begitu jelas.

“Syukurnya itu tidak menghambat proses lomba karena soal tetap menggunakan bahasa Inggris. Walau memang ada bahasa yang seperti menggunakan Google Translate. Jadi bahasanya aneh,” ucapnya.

Setelah kompetisi berakhir, pengumuman dan penyerahan medali berlangsung 16 Juli. Hasilnya menggembirakan, dua saudara itu menyabet medali emas di masing-masing kategori. Tak hanya itu, Kiko juga membawa pulang piala “The Legend” karena berhasil meraih medali emas hingga tiga tahun berturut-turut.

Selain itu, kesempatan menjalin pertemanan dengan berbagai peserta dari negara lain menjadi perhatian bagi kedua anak cerdas tersebut. Apalagi setiap peserta dapat saling bertukar kado. “Saya paling banyak dapat kenalan dari Tiongkok karena mereka juga sudah sering ikut lomba. Kalau Shin Shi banyak kenalan dari peserta sesama Indonesia dan Taiwan,” ucap perempuan berusia 11 tahun itu.

Sukses meraih medali emas berkali-kali di WMI, Kiko mengungkapkan kuncinya karena banyak mempelajari soal untuk grade SMP. Sehingga dia tidak hanya menguasai materi yang sesuai dengan level sekolahnya. Selama ini, Kiko tak memiliki banyak waktu untuk persiapan WMI 2018. Sebelumnya waktunya banyak terpusat pada olimpiade matematika di Bulgaria.

Hanya sempat belajar satu atau dua hari sebelum berangkat ke Korsel. Meski setiap tahun sibuk dengan berbagai lomba matematika, Kiko mengatakan tak ada rasa jenuh. Alasannya karena setiap lomba diadakan di tempat yang berbeda. Itu membuatnya memiliki beragam pengalaman menjelajah tempat baru.

Tinggal satu rumah hingga satu sekolah, ternyata bukan berarti kakak beradik ini memiliki cara belajar yang sama. Keduanya memiliki karakter berbeda. Kiko lebih menyukai ketenangan, dia senang belajar sendiri sambil bersantai di kamar. Sedangkan adiknya lebih aktif, dia suka belajar sambil bernyanyi atau berjalan ke sana kemari.

“Tapi saya sering kasih saran dan bantu juga. Saya suruh dia serius dalam belajar biar fokus. Kalau sekarang sudah mendingan,” ujarnya tertawa. Sementara itu, sang adik membalas pernyataan kakaknya. Shin Shi menuturkan, lebih sering akrab dengan kakak bukan saat belajar bersama. Namun karena bermain bersama.

“Kalau belajar paling suka di kamar sambil ditemani Mama dan Papa,” sebutnya sambil tersenyum. Bocah berusia 9 tahun itu mengatakan, tak pernah merasa terpaksa untuk ikut lomba. Selama ini, motivasi ikut lomba justru karena melihat figur Kiko.

Shin Shi mengaku senang melihat kakaknya berprestasi. “Tidak ada yang paksa, memang mau seperti Cece (Kiko),” imbuhnya. Selain itu, salah satu motivasi mengikuti lomba karena tak ingin melewatkan kesempatan liburan di luar negeri. Seperti sang kakak yang sudah bisa keliling ke berbagai negara hasil dari mengikuti lomba matematika.

Selain matematika, Shin Shi mengisi waktu luang dengan bermain piano, melukis, dan renang. Belum lagi kakak beradik ini sibuk dengan aktivitas les bahasa Inggris. Menurut sang ayah, Rudy Susanta, kedua anaknya tetap membutuhkan seni dan olahraga di luar dari bidang pelajaran utama.

Cara tersebut membuat pemikiran putrinya seimbang dan tidak stres akibat belajar terus-menerus. “Tapi saya malah ingin coba lomba sains nanti. Sekarang masih mau persiapan diri banyak latihan biar bisa ikut lomba sains,” ungkap Shin Shi dengan polos dan menggemaskan.

Setelah pulang dari Korea Selatan, kini Noriko memiliki setumpuk agenda perlombaan yang menanti. Ada berbagai kegiatan yang berlangsung selama Agustus hingga November. Kali ini, Kiko akan fokus pada perlombaan yang diadakan kalangan perguruan tinggi.

Misalnya, Pekan Matematika Nasional di Universitas Brawijaya Malang hingga Olimpiade Matematika Vektor Nasional (OMVN) di Universitas Negeri Malang. Seluruhnya berjalan sekitar Agustus dan September. “Mengincar lomba di universitas, biar namanya juga mulai dikenal di dunia kampus,” ucap Rudy.

Sebelumnya, Kiko pernah meraih Juara I OMVN Malang, Juara I Prisma Makassar, dan Juara I Astramatika Samarinda. “Kalau untuk lomba internasional, paling dekat November ada lomba AMO (American Mathematics Olympiad) di Malaysia. Noriko terpilih mewakili Indonesia,” tuturnya.

Sementara Shin Shi, mungkin akan fokus dalam pembinaan. Dia memang baru mengikuti lomba sekitar dua tahun terakhir. Kali pertama dia mencoba saat duduk di bangku kelas 2 SD. Rudy merasa sebuah tantangan juga untuk dia dan sekolah agar Shin Shi mampu bersaing dengan kompetitor dari luar negeri.

“Akhirnya kami coba bina, setelah satu tahun ternyata mulai terlihat bisa bersaing. Dari situ saya menyimpulkan bahwa kunci suksesnya adalah pembinaan dini,” katanya. Rudy turut senang karena beberapa sekolah lain juga mulai menjadi wadah untuk lomba matematika. Sehingga banyak siswa yang mampu mendapat pembinaan lagi.

Dia berharap, pemerintah daerah juga dapat memberi perhatian kepada siswa-siswa yang berprestasi di bidang olimpiade. Misalnya memberi bantuan dengan cara mendatangkan sumber daya manusia atau guru terbaik.

Pengajar yang bisa memberikan pembinaan untuk olimpiade bertaraf internasional.
“Semoga ada banyak berdatangan guru terbaik yang bisa membina anak-anak. Saat ini masalahnya juga kekurangan SDM (sumber daya manusia). Semoga bisa terbantu dari pemerintah daerah dengan memberi insentif untuk para guru. Terutama mereka yang bisa menjadi pembina pada kompetisi level internasional,” pungkasnya.

 

(fab/jpg/JPC)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *