Hasil Kajian CRPG: Pasal-Pasal Krusial RUU SDA Perlu Disempurnakan

Jakarta – Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG) melakukan kajian mengenai aspek-aspek krusial  dalam Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang akan di bahas di DPR. Hasil kajian tersebut selanjutnya secara bertahap dituangkan dalam bentuk Seri Kertas Kebijakan CRPG yang selanjutnya menjadi bahan masukan dalam proses Penyusunan RUU SDA yang akan dibahas di DPR. Pemaparan hasil kajian tersebut dilakukan dalam Diskusi Publik Mewujudkan Prinsip Berkeadilan dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia, Kamis (7/6) di Hotel Cemara, Jakarta Pusat.

Direktur CRPG Mohamad Mova Al’Afghani, PhD memaparkan terdapat pasal-pasal dalam RUU Sumber Daya Air yang perlu disempurnakan yaitu pasal 47 dan pasal 51.  “Pasal 51 mengelompokkan air minum dalam kemasan (AMDK) ke dalam kelompok air minum yang jelas tidak tepat. Kita menguji penjelasan pasal 51 dengan 4 kriteria dan menyimpulkan bahwa AMDK tidak layak masuk dalam definisi layanan air minum. Kriteria tersebut adalah pandangan Mahkamah Konstitusi, Parameter HAM, Pendekatan teori regulasi dan disinsentif bagi air perpipaan,” dikatakan Mova Al’Afghani.

Bacaan Lainnya

Mahkamah Konstitusi menetapkan air minum tidak boleh mahal dan perusahaannya tidak boleh mengambil keuntungan. Bila merujuk pada parameter HAM, maka AMDK bukanlah air minum karena tidak memenuhi aspek kontinuitas, tidak memenuhi aspek keterjangkuan harga, tidak memenuhi aspek keterjangkauan fisik serta tidak memenuhi aspek kuantitas.

Berdasarkan pendekatan teori regulasi, penetapan biaya air minum diatur oleh pemerintah. Sementara AMDK ditentukan bebas oleh pihak swasta. Selain itu, terdapat juga konsekuensi negative definisi air minum adalah AMDK, yaitu akan terjadi penurunan investasi untuk perpipaan dan peningkatan investasi untuk AMDK serta pertanbahan sampah plastik.

Air bersih dan AMDK adalah dua hal yang berbeda. Di Indonesia, akses masyarakat terhadap air bersih disediakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Namun, air PDAM yang mengalir ke rumah konsumen belum memenuhi kualitas air yang dapat langsung diminum. Akibatnya, pilihan air minum oleh masyarakat jatuh pada air tanah atau air PDAM yang dimasak atau mengkonsumsi air minum dalam kemasan (AMDK). Dengan mendefinisikan “air minum” mencakup AMDK dan menyatukan pengaturannya dalam pasal-pasal mengenai pelayanan air, RUU SDA akan mengakibatkan masyarakat tidak memiliki pilihan dalam memenuhi kebutuhan air minum. Karena itu, AMDK seharusnya dicoret dari definisi air minum dan tidak diatur dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai pelayanan air.

“RUU SDA selayaknya memperhatikan dengan seksama alasan-alasan  yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam pembatalan UU no 7/2004, antara lain soal hak rakyat atas air yang hendaknya dipahami sebagai hak mendapatkan akses air bersih guna menjalankan kehidupan sehari-hari  yang layak seperti mandi, makan , minum memasak, mencuci dan sanitasi. Disinilah negara berkewajiban untuk menyediakan kebutuhan minimum masyarakat atas air bersih melalui SPAM. karenanya pengelompokan AMDK dalam pengertian air minum dalam pasal 51 merupakan hal yang keliru,” ujar Mova.

Tim Kajian Publik APINDO Lucia Karina dalam kesempatan itu menanggapi bahwa RUU SDA terkesan sarat kepentingan dimana industry terkesan harus memberi air dari pemerintah. “Tidak ada satupun industri yang tidak memerlukan air sebagai bahan baku maupun kebutuhan air dalam proses produksi seperti kebutuhan air untuk pencucian di industri tekstil, pulp & paper dan sawit. Kebijakan ini mempersulit industri berkompetisi dengan produk-produk import sementara di sisi lain kita didorong untuk eksport. Akibatnya tekanan tidak hanya dari segi biaya energy namun sekarang juga ditambah dengan biaya air sebagaimana diatur dalam RUU ini. Karena diluar pajak air, industri dikenalan lagi 10% untuk konservasi dan bank garansi. Pasal-pasal ini menurut saya harus dianulir,” jelas Karina.

Direktur AMRTA Institute Nila Adriani mengatakan RUU SDA memberi kesan ingin melimpahkan kewajiban penyediaan air bersih untuk rakyat kepada swasta. “Terlihat dari pemberian bobot yang tidak seimbang  antara SPAM dan AMDK. SPAM seharusnya menyediakan kebutuhan dasar untuk masyarakat sementara AMDK adalah kebutuhan yang sifatnya pilihan bagi masyarakat. Tapi di dalam RUU SDA ini kedudukannya disamakan. Dalam RUU ini jaminan pemerintah atas layanan SPAM yang justru jauh lebih penting malah kurang eksplisit dirumuskan. Jadi, intensi pemerintah untuk memberi jaminan akan penyediaan air bersih tidak kuat, ” jelas Nila.

Pengajar Hidrologi dan Pengelolaan DAS Fakultas Kehutanan IPB Dr. Ir. Nana M. Arifjaya mengatakan RUU SDA lebih banyak mengatur hal-hal teknis sementara materi yang bersifat sustainable masih kurang. “Seharusnya pemerintah dapat membuat draf yang lebih bagus mengingat UU SDA ini bicara tentang konsep sustainability berkelanjutan. Memang bencana-bencana berkelanjutan yang berkaitan dengan kekeringan, mengancam Indonesia. Namun faktanya Indonesia adalah daerah yang diapit 2 samudra dan terdapat gunung di tengah-tengahnya sehingga potensi air melimpah. Dengan ketersediaan air yang melimpah ini, seharusnya industri dapat berkembang. Inilah yang menjadi nilai tambah bagi Indonesia.  Air di Indonesia banyak, hanya saja belum dikelola dengan benar, dalam konteks pengelolaan sumber daya air berkelanjutan pengelolaan ini harau jelas dan tegas,”

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang (UU) tentang Sumber Daya Air (SDA) Nomor 7 Tahun 2004  pada 18 Februari 2015. Dalam pembatalan tersebut, MK menetapkan 6 prinsip dasar yaitu:

(i)            tidak mengganggu, mengesampingkan, dan meniadakan hak rakyat atas Air;

(ii)           perlindungan negara terhadap hak rakyat atas Air;

(iii)          kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia;

(iv)         pengawasan dan pengendalian oleh negara atas Air bersifat mutlak;

(v)          prioritas utama penggunaan sumber daya air untuk kegiatan usaha diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa; dan

(vi)         pemberian Izin Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan Air.

Pada awal tahun 2017, DPR berinisiatif untuk menyusun Rancangan Undang-Undang untuk mengatur tata kelola air yang diwujudkan berupa RUU Sumber Daya Air (SDA). Penyusunan RUU ini mengacu pada 6 prinsip dasar MK yang ditetapkan MK pada saat pembatalan UU SDA No 7 Th 2004. Selanjutnya, Kementerian PUPR berperan menjadi leading dalam pembahasan RUU SDA ini.

Tentang CRPG dan Penulis

Center for Regulation, Policy and Governance (https://crpg.info) merupakan lembaga penelitian yang berbasis di Bogor, Jawa Barat.

Mohamad Mova Al’Afghani ([email protected]) memperoleh Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2003); Magister dalam Hukum Eropa dan Internasional (LLM.Eur) atas beasiswa DAAD dari Universitaet Bremen, Jerman (2008) dan PhD dalam Hukum Air (beasiswa pemerintah Skotlandia) dari Universitas Dundee, UK (2013). Saat ini menjadi dosen tetap di Universitas Ibn Khaldun Bogor, dosen tidak tetap MBA-ITB, Direktur di Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG) serta Konsultan Regulasi untuk sektor privat dan publik. Mova terlibat dalam “Geneva Process” dalam merumuskan penerapan Hak Asasi Manusia Atas Air (2009-2011) dan beberapa kali dimintai masukannya oleh UN Special Rapporteur for Human Right to Water. Publikasi terakhirnya adalah buku berjudul “Legal Frameworks for Transparency in Water Utilities Regulation”, diterbitkan oleh Routledge (2016).

Muhammad Maulana adalah peneliti dan Program Officer di CRPG, memperoleh master di bidang Kebijakan Publik dari Universitas Flinders di Australia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *