Pengamat Pendidikan Sukabumi Sebut Tawuran Pelajar Disebabkan Game dan Konten Kekerasan

tawuran pelajar

SUKABUMI, RADARSUKABUMI.com – Pengamat pendidikan Sukabumi Sistiana Windyariani menanggapi perihal maraknya terjadi tawuran antar pelajar. Menurut ia, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan jalanan tersebut antara lain, kurangnya perhatian dan pengawasan dari orangtua, kondisi lingkungan, serta banyaknya akses atau konten yang menampilkan kekerasan, seperti film, game dan media sosial.

“Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa, pada masa ini terjadi perubahan fisik, psikis, dan biologi,” kata Sistiani kepada Radar Sukabumi, Selasa (7/6).

Bacaan Lainnya

Wanita yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) pada Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) melanjutkan, masa remaja juga merupakan masa kritis. Sebab kepribadian remaja sedang mengalami masa perkembangan dan membutuhkan pegangan dan bimbingan terutama dari orangtua.

“Tanpa pengawasan orang tua remaja tidak memiliki pegangan teladan atau figur panutan sehingga cenderung berteman dengan orang yang salah, bahkan mencoba hal yang tidak diperbolehkan,” papar Sistiani.

Lingkungan yang kurang baik, lanjut ia, juga akan mempengaruhi pada pembentukan karakter remaja. Karena dalam beberapa contoh kasus, ada lingkungan yang tetangga memiliki perilaku kurang baik, bertengkar, atau narkoba.

“Selain itu kekerasan yang di media yang muncul secara berulang dapat mempengaruhi remaja untuk bertindak agresif. Terlebih saat ini juga banyak film, game yang menampilkan kekerasan, serta tayangan di media sosial yang meningkatkan perilaku agresif,” bebernya.

Sementara itu, ada suatu tradisi tahunan bahwa tawuran marak terjadi jelang pergantian tahun ajaran baru atau kenaikan kelas. Menurut Sistiani, pada masa ini merupakan ajang bagi pelajar senior untuk menampilkan jati diri. Sayangnya, sebagian pelajar mengintepretasikannya dalam bentuk senioritas berbau kekerasan serta tawuran.

“Momen pergantian tahun ajaran baru menjadi momen yang dianggap pas karena semua siswa sedang berkumpul untuk pengumuman kelulusan atau mengambil raport. Tawuran dianggap sesuatu yang keren, karena jika ada kelompok atau sekolah yang menang, maka menjadi suatu kebanggan bagi kelompok atau sekolah tersebut. Dan pada momen pergantian tahun ajaran baru inilah mereka bisa lebih menampilkan “kehebatannya”,” jelas Sistiana.

Menyoal regulasi yang mengarah punishment dengan tujuan memberikan efek jera, Sistiani tidak beranggapan demikian. Menurutnya, yang menjadi kunci paling utama adalah pencegahan yang dimulai dari keluarga dengan menguatkan nilai agama.

“Jika pendidikan agama yang diberikan mulai dari rumah sudah baik, maka anak akan memiliki akhlak mulia dan bersikap santun dan mencintai sesama. Alternatif lain mengarahkan siswa pada kegiatan yang positif sehingga siswa tidak punya waktu untuk mencari kegiatan yang bersifat negatif, misalnya kampanye anti tawuran melalui lomba mural, lomba berargumentasi tentang bahaya tawuran dan sebagainya,” tuntasnya. (izo)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *