Menengok Warga Pesisir Tangsi di Mangaran

Warga yang Pindah ke Selatan, Masjid pun Tak TerurusSitubondo terkenal dengan nama Kota Santri, meski demikian ada satu masjid tua yang tidak terurus di dusun Tangsi, Desa Tanjung Pecinan, Mangaran. Masjid tersebut pernah jaya pada era 2000an.

LAILY MASTIKA, Mangaran

Pantai Tangsi tidak seramai pantai lain pada umumnya.

Pantai tersebut juga jarang dikunjungi oleh para wisatawan. Sebab, tempatnya yang terpencil di pucuk utara Desa Tanjung Pecinan.

Sebelum sampai ke pantai, juga harus melewati puluhan area tambak yang mangkrak dan sepi. Banyak pohon waru yang tumbuh di pesisir Tangsi. Namun, hal unik yang menggelitik mata, adalah adanya masjid tua dan bekas-bekas pondasi rumah di sekitarnya. Serta pohon waru yang mengelilingi masjid.

Salah satu penduduk Tangsi, Marijo,75, menjelaskan, dahulu sekitar tahun 2000an masjid tersebut ramai dengan anak-anak yang mengaji di sore hari.

Namun, sejak paceklik ikan terjadi di 10 tahun terakhir, menyebabkan banyak nelayan yang banting setir. Tidak lagi melaut mencari ikan, melainkan bekerja di daratan.

Apapun itu. Hal tersebut berdampak pada keramaian di pesisir Tangsi. “Yang semula ramai, akhirnya sepi. Karena, banyak orang yang pindah ke area selatan Dusun Tangsi. Yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan desa,” paparnya.

Anak-anak yang semula rajin mengaji di sana, lambat laun berkurang jumlahnya. Karena mereka ikut pindah bersama orang tuanya. Hingga akhirnya, rumah warga yang berada di sekitar masjid pun turut dibongkar.

“Batu-bata yang bentuknya masih bagus dibawa ke tempat pendirian rumah yang baru,” jelasnya.
Menurutnya, julukan “Kota Santri” telah menghilang dari pesisir Tangsi.

Karena, masjidnya tidak hidup dan terurus. Nama masjidnya yakni Anwar. Para pengurus masjid yang biasa mengurus juga pindah ke area Dusun Tangsi bagian selatan. “Di sana ada dua musala yang berdiri. Anak-anak juga mengaji di sana,“ cetusnya.

Angin semilir menggoyangkan daun-daun waru. Suaranya terdengar khas di telinga. Meski ada beberapa warung yang berdiri disana, tetap saja terlihat sangat sepi.

Selain warung juga berdiri rumah kecil berukuran sekitar 3×4 dari bambu. Namun, rumah-rumah itu kosong.

“Rumah itu digunakan nelayan yang beristirahat malam di sana, sebelum pulang keesokan harinya,” ulasnya.
Di setiap rumah bambu, pasti ada dua hingga tiga motor yang diparkir. Tak bertuan.

Pemiliknya berlayar mencari ikan di tengah lautan. “Nelayan di sini biasa meninggalkan motornya di sini. Kemudian pergi melaut,” bebernya.

Marijo dahulunya tinggal di pesisir Tangsi bersama Mina, 70, istrinya. Mereka memiliki empat orang anak. Semua anaknya memilih untuk tinggal bersama keluarganya di luar dusun Tangsi.

Menurut mereka, dusun itu sepi dan jauh dari peradaban kota. “Rumah kami dulu juga disini, akhirnya juga ikut pindah ke Tangsi bagian selatan,” bebernya.

Setiap sore Marijo dan Mina berkunjung ke pesisir Tangsi. Mereka memiliki beberapa ayam kampung yang di lepas disana.

Sebagian besar warga juga melakukan hal yang serupa. Ayam-ayam kampung dibiarkan lepas sejak pagi hingga sore.

“Kalau mau magrib, banyak warga yang datang untuk memasukkan ayam ke kandangnya masing-masing. Di sini lingkungannya masih aman,” tandasnya.(bw/ily/als/JPR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *