Pendidikan Pra SD Perlu Dikaji Ulang

CIKOLE – Program sekolah sebelum masuk SD dinilai perkosa tumbuh kembang otak anak. Karena skema pengajaran tersebut tidak dipenuhi dengan konsep. Misal dalam metode membaca menulis dan menghitung (calistung). Mereka hanya menarget anak supaya bisa membaca saja tanpa memikirkan proses.

Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Sukabumi, Joko Kristianto menyebut proses dari timbal balik anak bisa membacalah yang paling penting, Dalam artian proses bagaimana anak bisa mengenal huruf dan membacanya.

Bacaan Lainnya

“Calistung itu hanya cocok untuk anak SD, tapi kalau anak dibawah SD konsepnya saja. Banyak orang tua yang nyekolahin anak di lembaga sebelum usia anak mampu menerima pembelajaran, dan itu sama saja dengan memperkosa otak anak,” akunya kepada Radar Sukabumi, saat ditemui usai mengisi acara Sosialisasi Sekolah Ramah Anak, senin (27/11).

Banyak dari orang tua yang berebut menyekelohkan anaknya di lembaga sekolah sebelum anak menginjak usia pas. Menurutnya itu sama saja dengan memperkosa otak anak dan memaksakan kehendak tanpa memkirikan psikologis dan otak anak.

“Jadi idealnya anak bisa menyerap pembelajaran itu maksimal lima tahun, karena dibawah usia lima tahun anak itu harusnya diperkenalkan konsep. Maka setelah itu anak akan bisa belajar dengan sendirinya, apa yang dilihat dan dibaca dan itu menyenangkan untuk anak.

Karena jika nanti anak sudah masuk SD otaknya akan stagnan karena semua pelajaran yang ada sudah dipelajari, Bimba tidak menjadi masalah, manakala diperuntukan bagi anak diatas lima tahun. Sehingga konsep konsep tentang huruf angka diterangkan konsepnya bukan hurufnya,” bebernya.

Karena jika iya, imbasnya anak akan menjadi malas,sehingga hal prilaku negatif akan muncul. Karena tidak ada aktifitas dalam pembelajaran dan otak anak sudah tidak mau menerima, nantinya anak akan menjadi nakal.
Disinggung mengenai lembaga pendidikan seperti PAUD dan bimba, Joko meyebut hal tersebut merupakan kewenangan dari Dinas Pendidikan. Harus ada aturan dan regulasi tentang lembaga tersebut. Karena bukan lembaga pendidikan hanya sebagai lembaga kursus.

PAUD yang diajarkan adalah konsep bermain menuju ke arah pembelajaran, sehingga konsepnya konsep bermain. Nah sedang dilembaga yang diajarkan hanya baca tulis saja. Orang tua hanya menarget anak supaya bisa membaca. Tidak mengajarkan tentang sosialisasi.

“Calistung itu hanya cocok untuk anak SD, tapi kalau anak dibawah SD konsepnya saja. Misal anak diajarin buah buahan. Ajarin anak buah yang dari huruf a, apel anggur dan lainnya. Sehingga akan terekam,” ungkapnya. Oleh karenanya pihaknya mensosialisasikan Sekolah Ramah Anak (SRA). Sekolah yang menjalankan semua hal berdasarkan aturan main. Meskipun dalam menjalankannya pasti terdapat banyak gangguan, namun semua harus dikoordinasikan.

Program SRA ini menurutnya, bukan kali pertama ada, karena kini pola pendidikan banyak penistaan dan tidak sesuai sehingga banyak program yang tak tercapai. “Ini bukan berbicara tentang oknum, tapi sisem artinya konprehensif, program ramah anak ini adalah program prefentif kita dalam menghadapi kekerasan pada anak,supaya anak menjadi pribadi yang ramah. Tidak mengedepankan emosional,” ungkapnya.

Supaya anak nyaman dengan kondisi sekolah dan pembelajaran maka antara anak guru dan orangtua harus sejalan. Salah satunya dengan menerapkan prilaku kearifan lokal. Semisal anak melalukan kesalahan, maka funishmen yang dibuat seperti apa dengan begitu tindak kekerasan sangat kecil kemungkinannya terjadi.

“Semua bukan hanya tanggung jawab sekolah, makanya ada P2TP2A. Maka harus selaras,” ujarnya. Selama periode tahun ini menurutnya kasus kekerasan anak yang diterima oleh P2TP2A terus meningkat. Itu membuktikan kesadaran orang tua terhadap tumbuh kembang anak semakin tinggi. (cr11/d)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *