Charlie “Heboh” Hebdo dan Dialog Islam-Barat

Oleh Kang Warsa

Kebebasan yang digaungkan oleh Eropa yang dimulai sejak era pencerahan (aufklarung) tahun 1715 awalnya merupakan perlawanan dari kelompok saintis terhadap hegemoni gereja. Lambat laun, kebebasan tersebut telah melahirkan sekularisasi dalam pengertian berkonotasi kurang baik, pemisahan kehidupan dari nilai-nilai agama. Meskipun demikian, agama dan nilai-nilainya tetap dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Barat, tidak hanya di ranah privasi, juga dipraktikkan di ruang publik. Sampai saat ini, upacara dan perayaan keagamaan masih dilakukan oleh masyarakat Barat.

Bacaan Lainnya

Mantra kebebasan berekspresi ala Barat yaitu liberté, égalité, fraternité, dimaknai secara harafiah: kebebasan, keadilan, dan persaudaraan. Presiden Prancis, Macron sempat mengeluarkan pernyataan, Prancis akan tetap mempertahankan nilai-nilai tersebut. Jika dicermati, yang dipertahankan dalam persepsi Macron baru menyentuh ranah liberté saja, yang jauh-jauh hari telah disindir oleh Karl Popper sebagai kebebesan semena-semana, kebebasan yang berat sebelah. Dalam pandangan Popper, kebebasan yang dimaknai oleh masyarakat Barat dalam praktiknya telah disalahgunakan sebagai kebebasan untuk melakukan kekerasan, penindasan, perundungan, dan pelecehan terhadap hak-hak orang lain yang mereka pandang lebih lemah.

Charlie Hebdo telah memperlihatkan kebebasan versi Barat –yang  dipandang oleh Popper sebagai kebebasan semu– dengan membuat dan memublikasikan karikatur Nabi Muhammad SAW. Media Prancis tersebut hanya berpegang pada salah satu dari trinitas mantra pencerahan yaitu liberté dan mengesampingkan dua mantra lainnya; égalité dan fraternité, keadilan dan persaudaraan. Pembuatan dan pemublikasian karikatur Nabi Muhammad yang dipandang sebuah ketabuan di dunia Islam merupakan upaya menihilkan sikap keadilan dan persaudaraan dilakukan oleh Charlie Hebdo dan pemikiran sebagian masyarakat Barat dalam menilai Islam.

Harus diakui, sudah sejak lama dunia Barat memandang Islam secara negatif karena luka lama sejak keruntuhan Romawi dan ekspansi kekhilafahan, disempurnakan oleh peristiwa perang Salib dan Sabil. Dunia Islam pun memandang hal yang sama, terlepas apakah Barat dengan segudang kemajuannya, sebagai negara-negara yang akan terus-menerus memperlakukan dunia Islam seperti Barat pernah menyebut Turki sebagai the sick-man of Europea pada pertengahan abad ke-19 untuk mendeskripsikan Kesultanan Utsmaniyah yang sangat tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya pada masa itu.  Imperialisasi dan kolonialisasi oleh Barat ke negara-negara  Asia dan Afrika masih menyimpan luka masa lalu bagi negara-negara yang yang baru  merdeka kurang dari satu abad. Dua kekuatan, Islam dan Barat selalu memandang pihak lain secara subyektif.

Jika kita berpikir obyektif, reaksi seorang muslim terhadap sikap guru sejarah  Samuel Paty dengan memenggal kepalanya telah keluar dari nilai dan tujuan beragama: hifdzun-nafs (melindungi jiwa manusia). Penusukan yang dilakukan oleh umat Islam di Nice juga tidak dapat dibenarkan oleh ajaran Islam. Hal baik yang telah dilakukan oleh umat Islam di dunia termasuk para kepala negara yaitu melakukan aksi unjuk rasa, aksi damai, dan kritik terhadap pernyataan Presiden Macron yang dinilai telah melukai hati umat Islam. Wilayah keyakinan atau agama telah diceritakan oleh sejarah sebagai wilayah paling sensitif, peka, dan mudah dijadikan alat provokasi-propaganda. Tidak hanya dengan umat lintas agama, bahkan di dalam tubuh umat sesgama pun  ketika terjadi perbedaan penafsiran terhadap wahyu Tuhan telah melahirkan kekerasan. Atas dasar ini, tidak sedikit manusia memandang agama sebagai pemantik pertikaian antar sesama, pada akhirnya mereka memilih untuk melepaskan diri dari agama. Memilih  keyakinan ekstrim dengan menjadi penganut atheisme.

Pelajaran dari Imam Ali

Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah merupakan tauladan bagi umat Islam. Bagaimana khalifah keempat ini merespon perintah Nabi Muhammad untuk memotong lidah seorang penyair Arab. Sayyidina Ali tidak serta-merta menafsirkan perintah Nabi secara letterlerk memotong lidah si penyair melainkan mematahkan fitnah dan ucapan kurang baik si penyair melalui pendekatan dialogis diawali dengan melakukan peninjauan terlebih dahulu dari berbagai aspek.

Sayyidina Ali mengamati secara detail kehidupan si penyair. Kesimpulan dari Sayyidina Ali, si penyair yang selalu melecehkan Nabi dalam sajak dan puisinya tersebut sedang mengalami goncangan finansial. Langkah yang ditempuh oleh Sayyidina Ali bukan memotong lidah si penyair melainkan memberikan bantuan berupa pasokan sembako. Kecerdasan Imam Ali dalam menafsirkan perintah berbentuk metafora ini bukan hanya telah menyelamatkan nyawa seorang penyair yang memeluk Islam di kemudian hari, juga telah membuktikan bahwa Islam benar-benar mengajarkan nilai kemanusiaan, penyelesaian permasalahan dengan membuka ruang dialogis.

Dialog Islam dan Barat

Setelah perang dingin, prediksi Samuel Huntington dalam tesisnya tentang benturan peradaban, Clash of Civilization, akan terjadi antara Islam dan Barat. Komunisme telah mengalami keruntuhan secara politis meskipun ajarannya masih tetap bertahan. Kekuatan yang tampil setelah komunisme adalah Islam. Konflik antara Islam dan Barat  yang telah berlangsung sejak perluasan wilayah Islam di masa kekhalifahan jika tidak dikubur dan dinyatakan sebagai sejarah kelam bagi dua kekuatan, akan melahirkan konflik dan benturan peradaban.

Pandangan Huntington dapat dibenarkan saat Amerika Serikat dan pasukan multinasional melakukan serangan dan penghancuran ke Irak. Perang teluk sendiri sebenarnya tidak hanya terjadi antara Amerika dan Irak, juga bersifat segi tiga yang melibatkan Iran sebagai seteru Amerika Serikat sekaligus musuh bebuyutan Irak. Perdamaian yang selalu disuarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sama sekali tidak dapat menangkis perseteruan antara Barat yang diwakili oleh Amerika Serikat dan pasukan multinasionalnya dengan Islam yang diwakili oleh Irak dan Iran.

Di sisi lain, seruan untuk melakukan dialog antara Islam dan Barat telah jauh-jauh hari didengungkan oleh para tokoh pembela nilai-nilai kemanusiaan. Dialog untukmendapatkan informasi dari kedua pihak ini dimaksudkan untuk menghentikan pertikaian, permusuhan, adu mulut, hingga perang bersenjata. Gus Dur ketika menjabat presiden melakukan lawatan ke berbagai negara, tidak hanya menyampaikan pesan tentang keindonesiaan yang sedang mengalami krisis dan ancaman disintegrasi saja. Gus Dur juga membawa pesan kemanusiaan, sikap moderat ditandai oleh sikap tidak memberatkan dan memberikan tempat kepada orang lain. Menurut Gus Dur, agama hadir dalam kehidupan kita agar manusia dapat menjalani hidup seimbang dan mudah. Maka kehadiran agama sudah seharusnya menyenangkan dan memudahkan.

Tokoh-tokoh dunia lain yang memihak pada perdamaian juga menyerukan hal senada dengan Gus Dur. Hubungan Islam dan Barat harus dibangun dengan sehat, hubungan yang dicirikan oleh saling menghormati dan menghargai, saling percaya, saling menjungjung tinggi sikap jujur, saling memberikan dukungan, saling memberikan pertolongan, dan menumbuhkan keadilan dalam kehidupan. Kesemuanya itu sejalan dengan liberté, égalité, fraternité yang diterapkan di dunia Barat, dan konsep rahmatan lil alamin di dunia Islam.

Dialog Islam dan Barat juga akan menumbuhkan sikap obyektif dari kedua pihak, apa yang benar dipandang benar, dan apa yang dipandang salah dapat diselesaikan bersama-sama bukan dengan sikap menghujat penuh kebencian. Perbedaan kultur dan budaya Islam dan Barat memang seharusnya diterima dan ditempatkan secar adil. Sangat tidak elok jika masing-masing pihak memaksakan kebanaran yang dianut oleh satu pihak kepada pihak lain. Sangat mudah dibayangkan jika kehidupan di dunia diisi oleh ruang-ruang dialogis bukan perdebatan.

Akhir Sejarah

Aristoteles pernah menyebutkan salah satu prasarat minimal eksistensi dan keberlangsungan kehidupan manusia yaitu adanya sikap lemah lembut. Tanpa ini, keberadaan manusia akan hilang dengan sendirinya. Bagi Francis Fukuyama, benturan peradaban berkepanjangan, sikap saling mencemooh, menyintas, dan larut dalam perdebatan tak karuan dapat menjadi pemantik semakin mendekatnya kehidupan manusia pada fase akhir sejarah.

Pandemi Covid-19 yang masih melanda dunia hingga saat ini tidak akan menjadi senjata pemusnah kehidupan manusia. Akhir kehidupan manusia justru dapat terjadi ketika tangan manusia sudah tidak sanggup menahan untuk menekan tombol peluncur senjata pemusnah massal, balistik nuklir, dan senjata beracun. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *