Mendikbud Nadiem Mengagas Sekolah Merdeka

Oleh: Dudung Nurullah Koswara
(Ketua Pengurus Besar PGRI)

Dr. H. Parji, M.Pd. Rektor Universitas PGRI Madiun mengatakan, “Kreativitas dan inovasi tidak pernah lahir dari lingkungan yang terlalu birokratik. Sekolah kita banyak yang diperlakukan sebagai unit birokratik (tidak merdeka) bukan unit akademik (merdeka). Persepsi ini seirama dengan gagasan Nadiem Makarim.

Bacaan Lainnya

Apa gagasan Nadiem Makarim? Ia menyatakan punya misi dari Presiden untuk memerdekakan unit pendidikan, memerdekakan guru dan murid. Menurut Nadiem, inovasi-inovasi di semua unit pendidikan tidak akan mungkin terjadi tanpa ada kemerdekaan. Nah bagaimanakah realitas dunia satuan pendidikan kita?

Menarik pernyataan “radikal” dari Raden Caca Danuwijaya aktivis PGRI. Saat menyaksikan para kepala sekolah dilantik oleh seorang kepala daerah. Ia berbisik, “Satu sisi Saya bahagia melihat kawan-kawan dilantik menjadi kepala sekolah, satu sisi lagi Saya bersedih. Para guru yang menjadi kepala sekolah masuk pada dimensi pasungan birokratik.

Raden Caca Danuwijaya mengatakan, “Para kepala sekolah bisa menjadi “paduan suara” karena SK ada di kepala daerah. Ia cenderung akan menjadi penurut dan manut apa kata pemberi SK. Bagi sejumlah kepala sekolah SK lebih penting dari kreatifitas dan inovasi”. Pernyataan Raden Caca Danuwijaya cukup nakal menggelitik.

Sebagai guru dan pengurus organisasi profesi guru Saya tahu persis bagaimana “kesantunan” para kepala sekolah pada Sang Pemberi SK. Ketika ratusan guru ingin jadi kepala sekolah maka SK bisa menjadi segala-galanya. Kreatifitas dan inovasi tidak lebih penting dari SK kepala daerah. Bahkan organisasi profesi guru pun yang merupakan amanah UURI No 14 Tahun 2005 bisa diabaikan demi SK. SK telah menjadi sesembahan baru.

Kecuali kepala sekolah yang “wow” Ia mampu menempatkan dirinya dalam dua dunia. Dunia otak kanan penuh kreatifitas dan inovasi. Plus dunia otak kiri penuh ketaatan dan satu komando sebagai prajurut pendidikan. Kepala sekolah akan taat pada komando birokrasi pemberi SK atau birokrasi pendidikan di atasnya.

Pendapat Mendikbud Nadiem Makarim, Rektor Parji dan aktivis PGRI Caca nampaknya seirama dalam menyoal entitas kepala sekolah dan satuan pendidikan. Satuan pendidikan cenderung sulit merdeka karena Sang Kepala Sekolah menjadi “guru birokrat”. Guru birokrat dengan guru mata pelajaran (akademik) dua hal berbeda. Akademik itu merdeka, birokrat itu hirarki.

Sejatinya satuan pendidikan itu berpola Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management). Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Idealnya sekolah atau satuan pendidikan itu jadi basis kemerdekaan untuk mengembangkan diri sendiri.

Lihat realitas satuan pendidikan saat PPDB. Saat ada sejumlah oknum pejabat, LSM, Ormas dan pihak eksternal yang punya mau. Sekolah bahkan bisa menjadi ajang bancakan semua pihak yang punya utang politik pada kepala daerah. Sekolah jadi alat “bayar utang” politik. Ketebelece dan surat sakti jadi menumpuk di satuan pendidikan.

Seorang oknum kepala daerah bisa dengan seenaknya memanfaatkan momen PPDB jadi media “balas budi” pada sejumlah pihak karena doeloe jadi timses Pilkada. Kepala sekolah tak mampu berbuat banyak. Ia sami’na waatona. Padus, paduan suara. Satu komando sesuai perintah oknum kepala daerah.

Sebelum keluar UURI No 23 tahun 2014 terkait “alih kelola” terutama sekolah SMA/SMK pavorit menjadi korban politik tahunan saat PPDB. PPDB adalah hajatan publik maka para kepala sekolah benar-benar harus makan buah simalakama, maju kena mundur kena. Kepala sekolah bisa terkena simala karma. Karena diberi SK tanpa melalui LPPKS maka “karmanya” adalah manut, nurut, manggut-manggut pada yang berjanggut.

Semoga gagasan Nadiem Makarim dengan latar belakang orang swasta yang tidak lahir dari rahim politik dan birokrasi dapat mengubah pola kuno, klasik dan berisik terkait kedaulatan atau kemerdekaan satuan pendidian. Satuan pendidikan yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dalam kemandirian semoga bisa terwujudbuktikan.

Satuan pendidikan yang “terpasung” karena kental birokratik pasti tak banyak diharapkan akan melahirkan generasi atau lulusan unggul. Lulusan unggul hanya lahir dari satuan pendidikan yang merdeka kepala sekolahnya. Merdeka gurunya. Merdeka muridnya. Merdeka komite sekolahnya dan merdeka semua civitas akademiknya.

Mungkinkah? Kita lihat gebrakan Sang Milenialis Nadiem Makarim. Bila perlu demi kemerdekaan satuan pendidikan, para kepala sekolah ditarik kewenangannya ke pusat. Agar tidak terlalu dekat dengan penguasa lokal. Rahasia ya! Sampai sa’at ini sejumlah kepala daerah dan para kadisdik “bernostalgila” ingin SMA/SMK kembali pada kewenangan kota dan kabupaten.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *