Jangan Lupa Bahagia

Oleh : Robby M. Muharam
Yayasan Ukuwah Nurul Amal (YUNA)

Setiap manusia pasti ingin bahagia. Namun, setiap orang memiliki persepsi berbeda tentang bahagia, demikian pula cara untuk menjadi bahagia. Meski tak mudah untuk selalu merasa bahagia, seseorang bisa menciptakan kebahagiaannya sendiri karena dari otaklah kebahagiaan seseorang bermula.

Bacaan Lainnya

“Berbagai riset menunjukkan, kepemilikan materi tak berkait langsung dengan kebahagiaan. Namun, berbagai riset konsisten menunjukkan kelompok mampu lebih bahagia dibanding yang kekurangan,” menurut peneliti Pusat Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat.

Dalam mengukur kebahagiaan, faktor materialistik tak bisa diabaikan. Namun, itu bukan satu-satunya faktor penentu kebahagiaan seseorang. Kebahagiaan diri ditentukan rujukan yang digunakan. Pemilihan rujukan amat bergantung pada cara kita menilai apa yang ada pada diri dan lingkungan serta apa yang kita miliki.

”Makin kompleks lingkungan tempat tinggal, kian banyak pembanding yang bisa jadi rujukan. Itu membuat seseorang rentan kurang bahagia,” katanya.

Apakah masalah kebahagiaan ini masalah individu atau masalah negara/pemerintah ? mari kita belajar dari negara Finlandia.

Finlandia, negara ini termasuk paling stabil, aman, dan memiliki sistem pemerintahan terbaik. Finlandia juga menjadi salah satu negara terkaya, bebas korupsi, dan progresif secara sosial. Sistem peradilannya paling independen di dunia, aparat kepolisiannya paling tepercaya.

Bank-bank berkinerja sangat baik, perusahaan-perusahaan di sana pun paling etis. Penduduknya, mereka menikmati kebebasan pribadi, kebebasan memilih dan kesejahteraan tertinggi.

Kesemuanya merupakan bukti sekaligus alasan mengapa penduduk Finlandia sangat bahagia. Namun, sebelum sampai pada tahap itu ada pelajaran sekaligus perjalanan panjang. Finlandia punya sejarah kelam yang berakhir 150 tahun lalu.

Di bawah kepemimpinan kekaisaran Rusia, masyarakat Finlandia yang kala itu miskin dan terbelakang harus menghadapi paceklik di musim dingin. Merenggut nyawa lebih dari seperempat juta orang atau hampir 10 persen populasinya akibat kelaparan.

Bahkan, enam abad sebelumnya, Finlandia hanyalah populasi miskin di bawah pemerintahan Swedia. Meski tak ada perbudakan, di sana tiada pula bangsawan kaya raya, dan tak pernah ada hierarki.

Agar terbebas dari penderitaan, sekian lama mereka terbiasa dengan dua prinsip yang berasal dari dua kata Finlandia, Sisu dan Talkoo. Sisu adalah semacam ketekunan yang gigih dan gagah berani, terlepas dari konsekuensinya. Sementara Talkoo menyoal kesetaraan, di mana orang bekerja sama secara kolektif untuk kebaikan tertentu seperti memanen dan menambal kayu.

Dua prinsip ini berkali-kali mereka jadikan tameng di medan perang, tatkala menantang pasukan Soviet yang jumlahnya berkali lipat pasukan Finlandia pada 1939-1940. Walau kalah dan merugi, mereka yakin kemenangan pasti datang lewat kebersamaan. Dan itulah kuncinya.

Budaya sisu dan talkoo menjadikan Finlandia bangsa mandiri sekaligus ramah dan murah hati. Tiap orang di sana bekerja keras untuk diri sendiri. Akan tetapi, tempat terpencil dan kondisi iklim yang tak bersahabat–musim dingin panjang serta gelap–membuat mereka sadar.

Banyak masanya orang butuh bantuan, karena itu manusia tak bisa hidup sendirian. Alhasil, ketika ada yang butuh bantuan, mereka tak segan mengulurkan tangan. Tanpa bertanya untuk apa, dibayar berapa. Selanjutnya, prinsip dua budaya tadi berkembang menjadi kesetaraan dan modal dukungan sosial.

Keduanya sangat penting sebagai landasan kebahagiaan. Berdampak signifikan pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Pun menjelaskan mengapa negara lebih kaya dan demokratis macam Inggris dan Amerika tidak lebih bahagia.

Secara ilmiah, fenomena kekayaan tidak mampu membeli kebahagiaan secara utuh dikenal dengan istilah “Easterlin Paradox”. Meski memang, uang bisa saja membeli kesejahteraan dalam batas tertentu.

Penjelasannya begini, jika kita tadinya bukan orang mampu, lalu punya uang, maka kebahagiaan dan kesejahteraan akan meningkat. Sebab dengan uang kita dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup. Kebutuhan seperti itu adalah fondasi, termasuk kenyamanan dan keamanan.

Namun, ketika kita kaya raya, menumpuk kekayaan tak lagi berdampak pada kebahagiaan. Pada titik itu, pandangan kita berubah. Kebahagiaan lebih berarti merasa dihargai dan dicintai.

Pada sistem negara yang tak berjalan baik, ketidaksetaraan dan kurang dukungan bisa menoreh luka. Seseorang bisa jadi semakin kaya, tapi malah depresi. Sebaliknya di Finlandia.

Mereka memungkinkan warganya mendapat kebahagiaan utuh dengan berbuat baik. Sehingga, lebih mudah bagi mereka menemukan makna hidup dan kepuasan lewat kesetaraan dan dukungan sosial yang lebih tinggi.

Bisa dibilang, masyarakat Finlandia tidak mencari kebahagiaan dengan berusaha mati-matian untuk menjadi sangat bahagia. Hasilnya, mereka menemukan kebahagiaan, bahkan lebih bahagia, lewat usaha minimal.

Di Finlandia, tak ada kesenjangan sosial. Masyarakatnya–mampu atau tidak– bersedia membayar pajak dan iuran tinggi. Karena mereka tahu hasilnya bisa digunakan untuk membantu “mendukung” orang lain yang membutuhkan lewat program sosial. Di sana, biaya kesehatan dan jenjang pendidikan dibayar gratis. Tak ada universitas swasta sehingga tercipta suasana egaliter.

Pensiunan tanpa gaji dan perempuan hamil yang tidak bekerja diberi tunjangan pemerintah. Begitu pula laki-laki pengangguran. Ibu hamil yang cuti melahirkan sangat terjamin, cuti suami untuk mendampingi istri melahirkan pun dianjurkan. Selama cuti, mereka tetap digaji penuh. Bahkan, mereka yang cuti sakit juga digaji. Ada pula kebijakan liburan lima minggu tiap tahun dan tetap digaji.

Terlebih lagi, Finlandia baru saja membuat kebijakan untuk mengentaskan tunawisma. Negara ini adalah satu-satunya yang memungkinkan ayah menghabiskan lebih banyak waktu bersama buah hatinya di usia sekolah.

Jadi tak mengherankan jika angka harapan hidup Finlandia sangat tinggi, 78 untuk laki-laki dan 84 tahun untuk perempuan. Bahkan imigran yang datang ke sana pun mengaku turut berbahagia–World Happiness Report 2018 pertama kalinya memperhitungkan tingkat kebahagiaan imigran.

Untuk membandingkan Negara Finlandia dengan negara kita tentunya tak sebanding, tapi sebagai studi literasi boleh dong untuk dijaikan bahan kajian ? atau mungkin tergagas bagi ekskutif dan legislatifnya di daerah untuk studi banding seperti biasa, dalam rangka memenuhi kebutuhan referensi panitia khusus ?

Lalu apa yang ada di negara +062 ?, kenyataan masyarakat masih sibuk mencari uang untuk membayar pungutan dan biaya les di sekolah dan naiknya iuran BPJS. Sekolah swasta dan milik pemerinah sibuk rebutan peserta didik baru. Ditengah sulitnya mencari penghasilan dan tambahan walaupun bagi kalangan buruh ‘ada hiburan’ upah minimum Kota/Kabupaten akan naik di tahun 2020.

Untuk bisa mengenal bahagia minimal kita bisa memahami secara definitif arti bahagia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) :

  1. Keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan) contoh: ‘bahagia dunia akhirat hidup penuh bahagia’.
  2. Beruntung; berbahagia (Kata Adjektiva (kata sifat))
    contoh: ‘saya betul-betul merasa bahagia karena dapat berada kembali di tengah-tengah keluarga’.
    Setelah kita mengerti arti bahagia menurut KBBI, semoga kita bisa merasakan arti kebhagiaan. Dan jangan upa bahagia.

“Saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah.” – Tere Liye

“Betapa bahagia saat kita duduk di istana, kau dan aku, dua sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku.” – Jalaluddin Rumi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *