Sukabumi dalam Perspektif Dadaisme

Oleh: Kang Warsa

Perang Dunia I, selama rentang waktu empat tahun (1914-1918) telah mengakibatkan banyak hal. Selain bencana kemanusiaan berupa kematian, perang ini telah meruntuhkan sendi-sendi dan tatanan masyarakat dunia dalam skala besar. Empat kekaisaran besar runtuh. Tatanan dunia yang porak-poranda tersebut memengaruhi alam bawah sadar manusia. Anti kemapanan muncul, gerakan baru dalam bidang sastra dan seni, dadaisme. Tatanan dunia dalam pandangan para dadais awal tidak kaku, mapan, dan stagnan. Tidak ada kemapanan dalam segala hal, kodrat ketidakmapanan ini menjadi landasan awal lahirnya aliran dadaisme.

Bacaan Lainnya

Kita dapat menyaksikan seni dan sastra yang dilahirkan dari rahim dadaisme, bagi manusia-manusia biasa akan memandangnya sastra yang bukan sastra atau seni yang buka seni. Dalam aliran dadaisme –misalnya lukisan- mata kita dapat saja dilukiskan berpisah dari kepala, tangan menempati kaki, organ-organ tubuh ditempatkan tidak mapan, mereka dapat berpindah-pindah. Memang terlihat tidak indah. Namun dadaisme telah mengirimkan pesan bagi masyarakat modern, akibat bencana kemanusiaan seperti Perang Dunia I ini telah menihilkan estetika konvensional.

Dadaisme lahir di Prancis dipandang oleh Hitler merupakan aliran paling buruk, aliran yang hanya akan meruntuhkan peradaban manusia, mengajak manusia untuk terpecah pada bagian-bagian acak. Ras Aria, ras super, ras unggul dalam pandangan Hitler tidak pernah mengenal keburukan apalagi patologi seni dan budaya seperti dadaisme. Hitler membenci para penganut aliran ini. Sampah dan penyakit perongrong kemapanan merupakan “biang kerok” yang harus dilenyapkan.

Saya bahkan kita dapat saja tidak sependapat dengan Hitler dalam memandang dadaisme. Aliran ini lahir sebagai sebuat reflektor yang melahirkan bayangan dan menyajikan sejarah kehidupan manusia saat itu. Keruntuhan imperium-imperium besar merupakan tercerai-berainya organ-organ tubuh. Negara-negara baru lahir. Sulit untuk bersatu kembali meskipun dihimpun dalam satu wadah Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Meskipun tidak bersatu, organ-organ yang terpisah itu tetap dapat hidup, laiknya seni dan sastra dalam dadaisme.

Negara-negara yang saling terpisah namun tetap dapat hidup itu merupakan realitas tingkat tinggi, para dadais mengklaim apa yang dihasilkan oleh aliran ini tentu saja merupakan seni dan sastra tingkat tinggi yang sulit dimengerti oleh manusia-manusia biasa. Kita dapat menafsirkannya hanya omong kosong belaka, seni tetap seni dengan kemapamannya, keindahan, tekstur yang melahirkan sensasi, semua orang dapat lama menatapnya, diakui oleh mayoritas manusia dapat menghadirkan ketenangan.

Di satu sisi, dadaisme telah melahirkan pemikiran baru manusia dalam memandang keberadaannya tentang ketidakmapanan realitas. Pada sisi lain telah membuang harapan manusia dalam menata dan menstrukturkan kehidupan, ia acak begitu saja. Pada akhirnya, dadaisme dalam seni dan sastra melakukan metamorphosis menjadi aliran surealisme hanya dapat dipahami dengan anggapan bahwa seni itu seni.

Menilai Sukabumi dari sudut pandang dadaisme

Kaum dadais sudah tentu akan marah jika pandangan dalam alirannya dihubungkan dengan segala persoalan kehidupan. Pernyataan ini tidak salah sebab dadaisme merupakan ekses dari ketidakmapanan dan kesemrawutan realitas, tidak berperan sebagai penyebab. Akhir-akhir ini, kita dapat dipastikan selalu dipaksa berpikir saat melihat lingkungan sekitar. Saya akan menyebutkan sebuah potret lingkungan di sekitar kita dan ini dapat saja memiliki kesamaan dengan pengalaman kita.

Kita mungkin sering melihat butiran pasir dan kerikil memenuhi pinggir jalan. Potret seperti ini pada awalnya sangat mengganggu pikiran, kenapa harus ada butiran-butiran pasir di jalan? Dari mana butiran pasir itu berasal? Bukankah akan lebih baik jika jalanan di sekitar kita itu bersih dari butiran pasir? Tetapi lama-lama kita akan mengalami disensitisasi, kebal terhadap potret seperti itu, akan memandang bukan hal yang dapat mengganggu pikiran. Biarkan saja, bukan masalah saya.

Tidak hanya terhadap potret butiran pasir, terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh manusia urban pun akan demikian. Secara perlahan, jika kekumuhan, aroma sampah, kemacetan, dan kesemrawutan terus-menerus memenuhi korteks otak kita, lambat laun diri kita akan mengalami disensitisasi terhadap potret-potret tadi. Otak di dalam diri kita tidak akan menyemburkan hormon kepedulian terhadap lingkungan, biarkan saja, berjalan dan mengalir seperti biasa. Dalam waktu singkat, saat sikap keperdulian semakin lemah di dalam diri kita, maka kesemrawutan tata kelola kota akan sebanding dengan semakin liarnya warga kota meramaikan dunia maya melaui kritik ke sana ke mari. Solusi akan terhenti dalam sekumpulan kritik.

Seorang dadais (penganut dadaisme) akan memandang kondisi di atas sebagai obyek karya seni. Jutaan butir pasir di jalanan dilukiskan sebagai kristal-kristal seni. Kekotoran dan terpisahnya hidup bersih dalam kehidupan manusia merupakan obyek terbaik bagi kaum dadais. Saat dipamerankan di gedung pertunjukkan banyak orang berdecak kagum terhadap karya seni tersebut. Kekumuhan lingkungan di sekitar kita yang diangkat melalui karya seni tidak lagi dipandang sebagai kejorokan, melainkan merupakan karya seni menakjubkan.

Namun tetap saja, kita sedang mendiami dunia realitas, tidak sekadar dunia parsial yang dimasukkan ke dalam bingkai berukuran 1×1 meter. Dalam dunia realitas, kekumuhan, kesemrawutan tata kelola kota, dan butiran pasir di jalanan tetap akan disebutkan oleh diri kita sebagai hal yang kurang baik, terlepas apakah kita telah kebal terhadap kekumuhan atau tetap memiliki sikap acuh terhadap lingkungan kita.

Artinya, saat kita menyaksikan tatanan kehidupan memiliki kesan acak-acakan, lantas memberitakan atau menuliskannya di media sosial, kita cenderung bersikap sebagai seorang penganut dadaisme. Namun sikap kita seperti ini tidak akan dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi di dunia realitas. Sebesar apa pun karya seni dan komentar-komentar yang dipublikasikan tanpa kita menerjunkan diri menjadi seorang realis segalanya hanya akan berlalu begitu saja. Itulah sebabnya, aliran dan pemikiran realisme lebih banyak diminati daripada dadaisme baik dalam kesusastraaan atau karya seni.

Alam realitas di Sukabumi

Dalam lima tahun terakhir ini, setelah membaca satu novel karya Jostein Gaarder, Dunia Sofie dan Dunia Anna, kita akan memandang kehidupan dalam batasan pemikiran pra Socrates, platonik, dan aristotelian sebagai bongkahan nilai yang saling bertentangan. Meskipun tidak demikian, kita akan melihat bahwa pemikiran-pemikiran tersebut merupakan satu rangkaian pola tiada akhir, saling melengkapi. Artinya, pemikiran dengan dinamikanya akan terus berkecamuk, seperti saling menjatuhkan padahal saling memperbaiki menuju kesempurnaan.

Kita akan merasakan adanya pertentangan saat diri kita menempati bagian partikular dari pemikiran tersebut. Seorang idealis memandang penganut aristotelian sebagai sekelompok manusia yang mengagungkan realitas, terjebak pada masa kini. Begitu juga sebaliknya, para penganut aristotelian memandang orang-orang idealis sangat platonik, cinta pun selalu diukur dengan dunia ide. Kita perlu bukti tidak sekadar ide.

Dinamika pemikiran tersebut secara simultan terus berkelanjutan. Memancar sampai ke sudut-sudut kehidupan. Terdampar di pantai-pantai perkampungan. Lupakan saja, dua kalimat terakhir saya pikir terlalu berlebihan. Sebagai contoh: ide atau cita-cita tertinggi warga Sukabumi baik kota atau kabupaten –saat pertama daerah ini terbentuk – merupakan ide dan cita-cita sebagian besar manusia, tampil sebagai daerah yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi. Waktu berjalan, terjadi kesenjangan antara ide dan realitas. Kita mengharapkan warga Sukabumi hidup dalam kondisi sejahtera secara paripurna, tetapi realitas tidak demikian. Keluhan dan kritik dari lembut hingga sarkastik mencaci realita. Para kritikus itu tidak mencaci apakah kesenjangan ide dan realita tersebut disebabkan oleh pemerintah atau unsur-unsur kehidupan lainnya, kecuali telah menciptakan serapah terhadap realitas.

Cara terbaik mengikapi pergolakan dan kesenjangan antara dunia ide dan realitas adalah dengan menempatkan diri kita berada di titik tengah. Islam menyebutnya : ummatan wasathan (umat pertengahan), ajaran kristiani menyebutnya: berikan kerajaan Tuhan kepada Tuhan, kerajaan manusia kepada manusia, di dalam ajaran Hindu disebutkan: dalam roda samsara, sang atman akan terus menerus melakukan pengembaraan hingga ia kembali ke titik nol; jiwa yang terhindar dari penilaian baik dan buruk, benar dan salah. Dan saya pikir hal itu memang sangat sulit dilakukan mengingat alam realitas manusia selalu dipandang selalu berada di belakang dunia ide dan cita-cita tertinggi manusia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *