Semua Serba Terbatas, Beli Alat Peraga dari Gaji Pertama

MESYA MOHAMAD, Tarakan

TIDAK pernah terlintas di pikiran Tri Lestari Rahmawati bisa menjadi guru di wilayah perbatasan, Tana Tidung, Provinsi Kalimantan Utara.

Sarjana ekonomi lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Budi Utomo Malang ini awalnya hanya mencarikan sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) buat putrinya, Sivana Shila Anindia yang saat itu baru berusia 2,5 tahun.

Tri bersama suaminya, Hiro Piko hijrah ke Tana Tidung pada November 2011. Karyawati di salah satu perusahaan swasta ini rela melepaskan posisinya sebagai akuntan, demi mendukung usaha mebel suaminya.

Saat merantau ke Tana Tidung, Tri tidak pernah menyangka begitu sulitnya kehidupan di wilayah perbatasan. Semua serba terbatas dan mahal.

Bahkan mendapatkan air minum saja sangat sulit. Masyarakat Tana Tidung yang mengandalkan air galon dan PDAM makin susah bila musim hujan. Kala hujan, sungai menjadi sangat kotor.

Tri juga kaget ketika kali pertama melihat sungai dan laut di Kaltara yang warnanya cokelat. Setahu dia, air sungai dan laut warnanya bening.

“Saya kaget kok air sungai dan laut di sini warnanya cokelat. Apalagi kalau musim hujan tapi warga Tana Tidung terpaksa menggunakannya untuk cuci, mandi dan masak karena air galonnya kan mahal,” ujar Tri saat ditemui di Kota Tarakan terkait Hari Guru Nasional, belum lama ini.

Ada terlintas di pikiran Tri, untuk memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar tentang pentingnya air bersih. Keinginan Tri ini terbuka saat dia diminta jadi guru PAUD Nurul Jadid.

Masuknya Tri di PAUD Nurul Jadid juga sangat kebetulan. 2013, dia tengah mencari PAUD untuk anaknya. Kebetulan ada PAUD yang baru dibentuk dan guru-gurunya direkrut sukarela.

Merasa terpanggil, Tri pun bergabung dengan lima guru lainnya. Dua tahun lamanya mereka mengajar sukarela. Bagi Tri, itu tidak jadi masalah.

Selain mengajar anak-anak lain, Tri bisa menjaga buah hatinya yang juga siswa PAUD. Walaupun sarana prasarana terbatas, Tri dan kawan-kawannya tidak patah semangat.

Anak-anak PAUD Nurul Jadid berkembang dan kualitasnya menonjol. Jumlah muridnya pun meningkat pesat dalam dua tahun.

Pada 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberikan dana BOP (bantuan operasional pendidikan) untuk PAUD Nurul Jadid.

“2015 adalah kali pertama kami digaji. Kami mendapatkan insentif Rp 1 juta per bulan,” ucapnya.

Dari gaji sejuta itu, Tri kemudian membelikan alat peraga untuk mengajarkan anak-anak PAUD tentang sains.

Alat peraga sederhana ini dirangkai menjadi saringan air batok kelapa. Dinamakan seperti itu karena alat peraganya terbuat dari batok kelapa ditambahkan spons, batu gunung atau sungai, arang, pasir dan ijuk.

Berkat saringan air batok kelapa itu, anak didik Tri jadi semangat. Mereka betah berlama-lama belajar sains. Mereka girang karena bisa membuat air kotor menjadi jernih lagi.

“Tahap awal saya mengajarkan anak-anak tentang perbedaan air bersih dan kotor berhasil. Walaupun air bersihnya belum bisa dikonsumsi,” terang Tri.

Atas dedikasinya itu Tri bisa meraih juara I guru PAUD berprestasi 2017. Dia bahkan bisa menginjakkan kaki di Jerman sebagai hadiah atas prestasi tersebut.

Di Jerman, ada banyak ilmu yang bisa diadopsi. Anak-anak tidak boleh dipaksa dan dilarang ketika mengerjakan sesuatu.

Selain itu belajar dan bermain sangat penting untuk anak-anak PAUD untuk merangsang motoriknya.

Setelah menjadi juara, Tri tidak berhenti memformulasikan cara belajar sains yang menarik bagi anak-anak.

Dia optimistis lewat metode sederhana dan menggunakan kearifan lokal, anak-anak akan mencintai sains sejak dini.

(esy/jpnn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *