APA ITU TUBERCULOSIS?

RADARSUKABUMI.com – Tuberculosis (TB atau TBC) atau biasa juga dikenal dengan “flek paru” adalah penyakit menular yang disebabkan infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian.

Berdasarkan laporan WHO, meskipun jumlah kematian akibat TBC menurun 22% antara tahun 2000 dan 2015, namun TBC masih menempati peringkat ke-10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2016. Oleh sebab itu hingga saat ini TBC masih menjadi prioritas utama di dunia.

Bacaan Lainnya

Di indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Angka prevalensi TBC Indonesia pada tahun 2014 sebesar 297 per 100.000 penduduk. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang tidak menyadari atau bahkan tidak tahu tentang bahaya TBC dan bagaimana pengobatannya.

Penyakit TBC menular ketika pengidap TB batuk atau bersin dari mulutnya yang berisi kuman M. Tuberculosis ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.

Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Biasanya penularan didapat dari kontak yang lama dengan penderita TBC, seperti anggota keluarga atau teman.

Daya penularan TBC dari penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru, yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan dahak. Makin tinggi derajat ke-positif-an hasil pemeriksaan dahak, makin besar resiko penularannya. Salah satu faktor penentu seseorang bisa terkena penyakit TBC atau tidak adalah sistem imun tubuhnya.

Semakin kuat daya tahan tubuh Anda, semakin kecil kemungkinannya untuk tertular penyakit TBC. Orang-orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah biasanya cenderung lebih mudah terinfeksi. Lansia, orang yang mengidap HIV/AIDS, orang yang menderita kanker, diabetes, ginjal, orang yang memakai obat yang mempengaruhi ketahanan tubuhnya, beresiko untuk terinfeksi TBC karena sistem imunnya tidak mampu melawan pertumbuhan bakteri.

Kuman TBC dapat menyerang bagian tubuh manapun, tetapi paru-paru paling sering terkena. Gejala yang timbul dapat dibagi menjadi gejala yang umum/sistemik dan khusus.

1. Gejala umum/sistemik dapat berupa; batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu, batuk bisa disertai dahak bercak darah, demam yang tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam.

Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. Penurunan nafsu makan dan berat badan, perasaan tidak enak (malaise), serta senantiasa lemah.

2. Gejala khusus tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar akan menimbulkan suara ‘mengi’, suara napas melemah yang disertai sesak.

Bila ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru) dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang. Bila mengenai lapisan pembungkus otak (meningen) disebut meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi bila diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa atau terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan vaksin BCG (dalam 3-7 hari) .

Selain dari pemeriksaan wawancara (anamnesa), untuk mendiagnosa seseorang terkena penyakit TBC harus dilakukan juga pemeriksaan fisik oleh dokter, dan juga di tunjang dengan pemeriksaan laboratorium darah dan dahak serta pemeriksaan radiologi.

Apabila seseorang terdiagnosis terkena penyakit TBC, penderita akan diberikan Obat Anti Tuberculosis (OAT) yang berlangsung minimal 6 bulan dan jangan terputus. Pengobatan ini diminum dibawah pengawasan guna memperhatikan dampak efek sampingnya dan meyakinkan pengobatannya sudah selesai.

Beberapa efek samping yang mungkin disebabkan dari OAT diantaranya mual, muntah, demam, kulit kemerahan, kulit tampak kuning. Bila penderita mengeluhkan beberapa gejala efek samping tersebut, agar langsung memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan terdekat.

Tingkat keberhasilan pengobatan TBC dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Faktor pasien : pasien tidak patuh minum obat, pasien berpindah-pindah pelayanan kesehatan, dan penyakit TBC-nya termasuk yang resisten terhadap OAT. Faktor Pengawas Minum Obat (PMO) : tidak ada PMO, sehingga tidak ada yang memantau pasien pada saat pengobatan.

Faktor obat : suplai obat terganggu, sehingga pasien menunda pengobatan atau tidak meneruskan minum obat. Apabila pengobatan terputus atau terhenti di tengah jalan, maka akan memberikan dampak yang buruk bagi pasien, tidak hanya menjadi lebih parah, bahkan bisa menyebabkan kematian.

Pencegahan dan pengendalian faktor resiko TBC dapat dilakukan dengan cara: membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat, membudayakan perilaku etika saat batuk (terutama penderita TBC), melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat, peningkatan daya tahan tubuh, penanganan penyakit penyerta TBC, penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan diluar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

ETIKA SAAT BATUK DAN BERSIN

1. Tutup mulut dan hidung anda dengan tissue saat batuk atau bersin, atau tutup mulut dan hidung anda dengan lipatan lengan bukan dengan telapak tangan. Buanglah tissue yang telah digunakan ke tempat sampah.

2. Gunakan masker yang menutup hidung dan mulut.

3. Cuci tangan Anda segera dengan air mengalir dan sabun, atau bersihkan tangan anda dengan alkohol hand rub.

Semoga Bermanfaat, dan jangan lupa untuk share artikel ini kepada kerabat dan keluarga dirumah yaaa.. Salam semakin sehat dari kami, keluarga besar RS Betha Medika.(*)

 

Oleh: Dr. Mia Tajri
Dokter Umum RS Betha Medika

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *