Rizal Ramli: Industri Nasional Bisa Mati

JAKARTA – Rencana pemerintah mencabut industri crumb rubber (karet remah) dari Daftar Negatif Investasi (DNI) adalah tidak masuk akal.

Ekonom senior, Rizal Ramli, menilai langkah tersebut akan mematikan industri nasional yang sudah ada sejak puluhan tahun silam.

Bacaan Lainnya

“Lha wong yang sekarang saja sudah terjadi idle capacity. Kapasitas produksi kita sekarang sudah 5,6 juta ton lebih.

Sementara ketersediaan bahan baku hanya 3,5 juta ton. Artinya, ada kekurangan pasok bahan baku sebanyak 2,1 juta ton. Jadi tidak masuk akal kalau pemerintah mau mencabut crumb rubber dari DNI,” terang Rizal Ramli melalui siaran pers, Kamis (15/11).

Menko Ekuin era Presiden Gus Dur itu berpendapat, aturan yang sudah ada cukup bagus, tidak perlu diubah. Sesuai Perpres 44/2016 dan Permen Perindustrian nomor 09/M-IND/PER/3/2017, pembukaan industri ini kepada asing disertai sejumlah catatan.

Di antaranya harus terintegrasi dengan pengembangan kebun karet sendiri yang mampu memasok sekurangnya 20 persen dari kebutuhan, dan 80 persen bahan baku sisanya harus dipenuhi melalui kemitraan.

Syarat lainnya, dari 80 persen kemitraan tadi, sedikitnya 20 persen di antaranya harus dalam bentuk intiplasma.
“Dengan adanya persyaratan asing harus punya kebun sendiri, ini sudah bagus.

Mungkin kita bisa belajar meningkatkan produksi karet alam dari mereka. Apalagi, selama ini produktivitas kita memang rendah, kalah dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam,” kata Rizal Ramli.

Pada 2011, harga crumb rubber pernah mencapai 4,5 dolar AS per Kg. Harganya terus merosot, sehingga kini tinggal 1,2 dolar AS/kg.

Selain itu, pelaku usaha di bidang ini juga umumnya pengusaha menengah, karena investasinya tidak besar dan teknologinya tidak canggih amat.

Inilah melatari 157 perusahaan crumb rubber yang ada, 96 di antaranya adalah penanaman modal dalam negeri (PMDN) alias milik swasta nasional.

Sedangkan sisanya yang 61 perusahaan adalah penanaman modal asing (PMA) dan atau terafiliasi asing. Tapi kendati jumlah mereka lebih sedikit, kontribusi ekspornya mencapai 63,1 persen. Sedangkan perusahaan lokal yang 96 unit harus puas dengan 36,9 persen.

Sehubungan dengan itu, Rizal Ramli mengingatkan agar Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, berhati-hati jika bermaksud menarik investasi asing.

“Kita memang membutuhkan investasi asing. Tapi sebaiknya diutamakan untuk yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi perkonomian nasional. Jangan malah sebaliknya, mematikan industri nasional yang sudah ada,” tegasnya.

Dia menyarankan pemerintah fokus pada peningkatan produksi yang kini rata-rata hanya setengah dari produksi Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Kalau pun mau menarik investasi asing, sebaiknya untuk hilirisasi industri. Karena faktanya, dari 3,5 juta ton produksi hanya 631 ribu ton yang diserap industri hilir di dalam negeri. Sisanya yang 3,2 juta ton habis diekspor.

“Satu lagi, sudah saatnya bersama Thailand, Malaysia, dan Vietnam kita membentuk organisasi produsen karet alam. Bukankah kita berempat menguasai lebih dari 75 persen produksi dunia?

Dengan membentuk organisasi semacam OPEC pada minyak, kita bisa punya bargaining, bahkan power di hadapan konsumen,” terangnya.

 

(rmol)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *