Menilik Jejak Simulasi Hidup Seniman Jogja di Planet Merah (Bagian I)

Venzha Christ, seorang seniman di Jogjakarta ini menjadi satu-satunya orang Indonesia yang ikut dalam simulasi hidup di Planet Mars tahun ini. Selama sebulan, sejak Maret hingga April 2018 silam, pria 43 tahun tersebut bersama 5 orang asal Jepang berjibaku dan mengikuti pelatihan hidup di Planet Mars. Bagaimana kisahnya.

Ridho Hidayat, Jogjakarta

Di sebuah padang gurun yang sangat gersang di Utah, Negara bagian Amerika Serikat, Venzha mencoba menjalani hari-harinya seperti di Planet Mars. Proyek pelatihan yang diadakan oleh Mars Society ini bertujuan untuk membuat simulasi di mana seolah-olah manusia hidup di planet selain bumi. Planet Mars dipilih karena letaknya yang paling dekat dengan bumi. Pelatihan tersebut dinamakan Mars Desert Research Station (MDRS).
Program tersebut merupakan pelatihan untuk mempersiapkan manusia secara mental, psikologi, dan fisik supaya bisa bertahan hidup dalam kondisi sangat ekstrem dan berbeda jauh dengan bumi. Usai mengikuti program tersebut selama sebulan, ia pun meyakini bahwa membuat suatu peradaban manusia di Planet Merah (julukan Planet Mars) tidaklah realistis.

“Kenyakinan saya untuk turut menolak misi membuat koloni manusia di Mars adalah sudah final. Sekali lagi saya bersama dengan jajaran scientist yang tidak setuju dengan misi ini adalah bertujuan untuk lebih realistis terhadap persepsi kita tentang the second earth (bumi kedua),” katanya, kepada JawaPos.com (Radar Sukabumi Group) baru-baru ini melalui surat elektronik.

Dari sekian banyak planet, penunjukan Mars sebagai tempat simulai lantaran dianggap paling dekat dengan bumi. Meski masih banyak kemungkinan, dirinya tetap menolak adanya kolonisasi di planet Mars.
“Saya selalu akan mendukung untuk usaha manusia pergi ke Mars. Tetapi bukan untuk membuat koloni manusia di sana. Namun untuk membangun laboratorium, meneliti gejala, menganalisa fenomena-fenomena, dan tentu saja juga mencari tahu akan banyaknya pertanyaan tentang alam
semesta yang belum terjawab oleh teknologi manusia saat ini,” kata dia.

Bagi Venzha, awalnya ruang angkasa hanyalah science fiction (fiksi ilmiah), namun pertanyaan tersebut seiring dengan perkembangan teknologi dan waktu mulai terpola, dan dapat diterangkan dalam ilmu pengetahuan.
“Di sinilah saya tertarik dan kemudian mencoba belajar, mencari tahu, dan mengadakan riset-riset yang serius. Space Science juga merupakan bagian dari proses berkarya buat saya, dimana selalu ada sebuah misteri tanpa batas yang selalu memerlukan proses yang panjang dan sangat scientific untuk mencari jawabannya,” kata Venzha.

Karya seni yang dibuatnya dalam kurun 10 tahun terakhir, selalu mempunyai kaitan dengan dunia Space Science dan Space Exploration. Karyanya itu juga selalu ada kerja sama dan kolaborasi dengan ilmuwan, astronomer, astrofisikawan, computer science , programmer, maupun dengan astrobiology.
Indonesia Space Science Society (ISSS) kemudian muncul dan menjadi sebuah lembaga non-profit, yang berhasil menyatukan dan mempertemukan berbagai lembaga dan institusi dalam bidang Space Science dan Space Exploration.

ISSS di dalamnya diisi oleh orang-orang dari berbagai negara di dunia untuk melakukan sesuatu hal bagi Indonesia. Berbagai kegiatan dan karya pun sudah dihasilkan, diantaranya adalah Astronomical Art.

“Karya-karya tersebut selalu mencampurkan antara dunia seni, teknologi, dan sains khususnya Space Science, yang kemudian selalu dipresentasikan dengan cara yang lain pula, bagi semua kalangan atau untuk audience secara umum agar lebih bisa memahami dengan mudah,” katanya.

Karya-karya semacam ini disebut Space Art atau Astronomical Art. Dari karya-karya Space Art itulah kemudian banyak muncul tawaran untuk melakukan riset-riset ilmiah di berbagai institusi dan laboratorium atau menjadi pembicara di banyak konferensi, maupun mengajar di beberapa universitas di belahan negara.

“Proses inilah yang kemudian membawa saya untuk dipertemukan dengan Mars Society, sebuah lembaga advokasi yang secara terus-menerus mengadakan penelitian dan explorasi tentang planet Mars,” ucapnya.
Perjumpaan itu pula yang mengantarkannya untuk berhadapan langsung dengan para pakar dan ahli di bidang Space Science dan Space Exploration.

Pada saat itu pula ia juga mendapat suport dari HONF Foundation, sebuah institusi terbuka dan bersifat non-profit yang berdiri sejak 1999 yang berfokus dalam kegiatan seni, teknologi serta sains.

Venzha mendapat bantuan bereksplorasi dengan berbagai disiplin ilmu, terutama tentang perkembangan seni dan teknologi secara luas. “Space Art atau Astronomical Art adalah hanya salah satu cabang yang dihasilkan oleh House of Natural Fiber (HONF) Foundation. Venzha yang telah belajar tentang galaksi dan tata surya, kemudian dilanjutkan dengan risetnya tentang planet yang mempunyai julukan Planet Merah itu. “Kemudian saya bisa mengetahui banyak hal dan menganalisa kemungkinan-kemungkinan apa saja yang bisa terjadi untuk sebuah peradaban di sebuah planet,” katanya.

Mars, menurutnya merupakan sebuah tempat dimana terdapat banyak sekali natural disaster (peristiwa alam) yang sangat mematikan untuk sebuah koloni kehidupan tertentu. Planet Merah itu juga mempunyai tingkat radiasi berbahaya dan sangat tinggi, serta peluang untuk bisa survive dengan durasi waktu yang lama akan sangat sulit direalisasikan.

Tentu saja banyak kemajuan di bidang sains atau di bidang Space Science yang nantinya yang akan diciptakan atau dihasilkan oleh manusia di bumi. Sehingga percepatan teknologi dan terciptanya sebuah tools atau alat-alat untuk menopang sebuah kehidupan di planet lain akan semakin sempurna.

 

(bersambung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *