Shinta Amalina Hazrati Havidz, Peraih Penghargaan Doktor Termuda di Tiongkok dari Muri

Teh manis kembali dia teguk. Sudah lebih dari satu jam kami berbincang. Hanya beberapa tamu restoran yang masih bertahan. Di bawah siraman pendingin ruangan, Shinta masih memperlihatkan guratan emosi. Tiap kali menceritakan insiden wisuda itu. ”Saat itu bisa dibilang saya senang, tapi hanya setengah,” katanya.

Saat foto bersama pun, dia memaksakan diri menyunggingkan senyum. ”Gedek banget. Karena itu, saya termotivasi segera S-3 dan bisa benar-benar wisuda,” ujar Shinta, lantas tersenyum.

Lulus magister meski dengan tanpa wisuda resmi, Shinta akhirnya kembali ke Indonesia. Dia sempat menjadi dosen di President University mengajar mata kuliah financial management dan Islamic banking pada 2014. Atau saat usianya 22 tahun. Hasrat untuk kembali menimba ilmu masih menggelora. Tapi, bukan ke WUT.

Dia lebih ingin ke Durham University di Inggris. Dengan mengambil studi Islamic finance untuk mengejar gelar doktor. Tapi, nasib ternyata membawanya kembali ke WUT. Dia mendapatkan jalan yang lebih mudah karena sudah mengenal kultur akademik dan beberapa profesor. Rekomendasi pun mudah didapat untuk beasiswa sampai selesai. Beda saat kuliah S-2 yang dengan biaya sendiri.

Masuk pada September 2015, dia bisa menyelesaikan studinya kurang dari tiga tahun. Disertasinya mengangkat topik bank Islam dan konvensional dengan mangambil studi di Asia dan Timur Tengah. Setelah berulang-ulang revisi materi disertasi, dia akhirnya sidang untuk meraih gelar PhD pada 17 Mei 2018. Kali ini dia benar-benar wisuda. ”Saya masih ingat betul saat wisuda doktor itu pakai toga merah. Istilahnya, kita berdarah-darah untuk memakai toga merah,” katanya, lantas tertawa lepas.

Tak terasa sudah hampir dua jam kami berbincang. Makanan dan minuman telah lama tandas. Raut Shinta pun sudah berbinar sejak menceritakan tentang keberhasilannya menjadi doktor. Dan, diwisuda. Kali ini secara resmi, tak pakai nama orang lain. Masih ditambah bonus pula: meraih penghargaan Muri yang diserahkan langsung sang pendiri, budayawan Jaya Suprana, pada 9 Agustus lalu. ”Serasa diwisuda lagi,” katanya.

 

(*/c10/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *