Masih Saja Merugi

JAKARTA – Kinerja Garuda Indonesia masih belum terbebas dari kerugian. Berbagai perbaikan dilakukan. Termasuk menggenjot sumber pendapatan lain.Sampai semester I-2018 maskapai pelat merah ini masih menelan kerugian dengan nominal yang besar, yakni Rp 1,6 triliun. Meski menurun jumlah angkanya, tapi rugi tetap saja rugi.

Dirut PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Pahala Mansury berharap, kinerja perusahaan pada tahun ini bakal moncer.Untuk meningkatkan revenue, Garuda berupaya melakukan pengembangan rute dan frekuensi. Selain itu, perusahaan juga berupaya untuk meningkatkan utilisasi dan jumlah isian di setiap armada miliknya.

Bacaan Lainnya

Perusahaan tengah menggenjot pendapatan selain penjualan tiket. Berbagai peluang bisnis tengah ditekuni. Salah satunya adalah diversifikasi pendapatan kargo dan penjualan produk.Misalnya, penawaran merchandise kepada penumpang yang membutuhkan produk yang mendukung perjalanan mereka. Meski tidak memberi kontribusi besar, namun perseroan berharap, bisnis ini bisa mendorong peningkatan pendapatan.

“Kami memiliki inisiatif, untuk penjualan kami ada Garuda Shop. Dengan brand yang kami miliki, orang yang melakukan bisa melakukan pembelian barang untuk suvenir atau kebutuhan perjalanan mereka,” katanya.Pada pendapatan dari kargo perusahaan, juga diusahakan bisa meningkat di tahun ini. Pada semester I-2018, bisnis kargo meningkat sebesar 2,7 persen menjadi 225 ribu ton.

Mengenai ketepatan waktu penerbangan (on time performance/OTP), Garuda Indonesia sebagai mainbrand mencapai 89 persen atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu 85,8 persen.Untuk cara optimalisasi bisnis lain adalah mengenalkan kelas baru, yakni economy basic. Kelas ini menawarkan harga tiket yang lebih murah hingga 20 persen ketimbang kelas ekonomi.

“Kami sudah meluncurkan kelas baru Eco Basic, khususnya untuk jenis pesawat ATR dan Bombardier CRJ di mana harga yang kami tawarkan bisa lebih rendah,” ujarnya.Terobosan ini diharapkan akan meningkatkan tingkat isian kursi dua jenis pesawat tersebut yang biasanya hanya mencapai 70-80 persen saja. Nantinya, setidaknya ada 12 kursi Eco Basic di setiap pesawatnya.

Pemberian tiket murah juga memiliki konsekuensi penumpang tidak bisa mengakses lounge, priority baggage, priority check-in dan lainnya.”Harga yang kami tawarkan bisa lebih rendah tentunya dengan penyesuaian layanan yang diberikan. Misalnya penggunaan lounge tidak lagi dimungkinkan dan sebagainya. Kita berharap, inisiatif ini bisa meningkatkan tingkat isian menjadi lebih baik,” kata Pahala.

Dia mengakui, pendapatan utama perseroan masih dari sisi penerbangan. Makanya, Pahala memandang, penerbangan umrah ke Jeddah dan Madinah, Arab Saudi, merupakan rute yang potensial untuk menambah pendapatan, mengingat animo masyarakat yang tinggi.

“Setiap tahun jumlah revenue yang kami peroleh dari umrah, tidak termasuk haji, kurang lebih sekitar 200 juta dolar AS per tahun,” kata Pahala.Tahun ini pihaknya menargetkan, pertumbuhan pendapatan dari penerbangan umrah ke kedua kota itu mencapai double digit. Setidaknya dari penerbangan rute itu, Garuda dapat meraup 220 juta dolar AS tahun ini. “Iya berharap ada penambahan lah, mudah-mudahan double digit. Kami tidak bisa sampaikan,” tegasnya.

Garuda mencatatkan kerugian 114 juta dolar AS (sekitar Rp 1,64 triliun) pada semester I-2018. Kerugian itu diklaim menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 283,8 juta dolar AS atau sekitar Rp 3,77 triliun.

Kerugian dipicu lonjakan beban operasional, seperti biaya bahan bakar avtur yang naik 12 persen dan depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Kebutuhan avtur me­mengaruhi biaya operasional men­capai 35 persen dengan nilai 639,7 juta dolar AS. “Akibat kedua hal tersebut telah mengubah rencana produksi kami,” kata Pahala.

Pengamat penerbangan Alvin Lie menuturkan, Garuda perlu lebih agresif dalam mengembangkan rute internasional yang banyak diminati, seperti di Timur Tengah. “Coba lihat ada berapa airline yang punya hak terbang ke Indonesia. Resiprokal berapa kali banyak yang belum dimanfaatkan. Pengembangan rute internasional penting un­tuk mengimbangi pendapatan Garuda. Itu juga bukan hanya dari domestik,” saran Alvin.

Sebab, sebagian besar kewajiban keuangan Garuda dalam bentuk dolar AS. Selain itu, Garuda harus konsisten terhadap branding yang mereka bangun. “Garuda juga harus memiliki positioning dan strategi marketing yang jelas,” katanya.Menurut dia, Garuda perlu meniru Lion Air yang memiliki positioning yang jelas. Misalnya, kelas menengah ke atas terbang bersama Batik Air, kelas ekonomi ada Lion. Sedangkan rute perintis ditangani Wings Air.

 

(jpnn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *