Kisah 2 Nenek Jamaah Haji Nonkuota yang Telantar di Bandara Arab Saudi

Lanjut usia, tak pernah ke luar negeri, lalu keleleran di bandara. Kepergian Jumailiah ke Arab Saudi diuruskan keponakan, sedangkan Mariana malah ditinggal sang anak di bandara.

FIRZAN SYAHRONI, Madinah

Bacaan Lainnya

JUMAILIAH dan Mariana bergandengan tangan. Mereka berjalan perlahan, mondar-mandir di terminal kedatangan Bandara King Abdulaziz Jeddah, Arab Saudi. Dua nenek itu seperti orang kebingungan. Tengok kiri, kanan, lalu duduk berdua. Berdiri sebentar, lalu duduk lagi. Masih bergandengan tangan. Mereka menatap ke arah para petugas haji yang berseliweran di bandara. Saat itu memang jadwal kedatangan calon jamaah haji (CJH) asal Surabaya dan Jakarta.

Namun, dua nenek berusia 60 dan 78 tahun tersebut tak berani bertanya kepada para petugas haji Indonesia. Penampilan Jumailiah dan Mariana memang berbeda dengan CJH kebanyakan “Kami kasihan melihat ibu-ibu itu, kebingungan mau ngapain di bandara,” ujar Zamzani, petugas haji dari Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Daerah Kerja (Daker) Bandara, kepada Jawa Pos (Induk Grup Radar Sukabumi).

Penampilan dua nenek tersebut memang tidak sama dengan CJH Indonesia lainnya. Mereka tidak mengenakan seragam batik yang dikeluarkan Kementerian Agama (Kemenag). Mariana mengenakan mukena panjang warna putih. Sedangkan Jumailiah memakai kerudung panjang hitam.

Mereka tidak membawa koper dan tak memakai gelang haji. Satu-satunya yang mereka tenteng hanya tas kecil. Itu pun berbeda bentuknya dengan tas keluaran Kemenag.Bersama rekan-rekannya, Zamzani lantas mendatangi Jumailiah dan Mariana. Saat itulah mereka tahu bahwa dua nenek tersebut berangkat haji melalui jalur furoda yang tidak masuk kuota resmi Kemenag (nonkuota).

“Aduh Pak, tolong, bagaimana nasib saya ini?” kata Jumailiah.Dia mengaku tiba di bandara dengan maskapai Saudi Arabia Airlines pada Rabu pagi (8/8). Jumailiah dan Mariana berangkat bersama dua orang lainnya dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Selasa malam (7/8).

Petugas lantas memeriksa visa milik Jumailiah. Di situ tertulis keterangan bahwa Jumailiah datang ke Tanah Suci dengan status sebagai tamu kerajaan. Dalam visa itu tercantum biaya senilai 6.600 riyal atau sekitar Rp 26 juta. Biaya tersebut belum termasuk transportasi, konsumsi, dan akomodasi selama di Arab Saudi.

Jumailiah berasal dari Desa Robatal, Sampang, Jawa Timur. Alamat paspornya didaftarkan di Kantor Imigrasi Tanjung Perak, Surabaya. Namun, Jumailiah tidak tahu pasti proses pendaftaran hajinya. “Saya ndak tahu bagaimana. Saya didaftarkan keponakan,” katanya seraya menambahkan tak memiliki dana untuk berangkat haji.

Lain lagi pengakuan Mariana. Dia semula ditemani anak kandungnya. Namun, ketika turun dari pesawat, sang anak malah meninggalkan mereka di Bandara Jeddah. “Terus ibunya dititipkan ke saya, gak tahu mau ke mana anak itu,” kata Jumailiah.

Sayang, Mariana tak mampu berkomunikasi dengan baik. Dia hanya menyatakan berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Mariana mengatakan, semua keperluan hajinya diurus anaknya. Berdasar visanya, diketahui dia berangkat dengan paspor keluaran Kantor Imigrasi Jakarta. “Saya mau pulang saja. Tolong antar ke rumah saya di Pasar Kemis (Tangerang, Red),” rengek Mariana lagi.

Kepergian ke Arab Saudi ini merupakan yang pertama bagi mereka ke luar negeri. Para petugas PPIH Daker Bandara pun sempat kebingungan menangani dua jamaah telantar itu. Nomor telepon penjemput yang dipegang Jumailiah tak bisa dihubungi. “Kami tidak punya kewenangan menangani mereka. Tapi, kami tetap bantu atas dasar kemanusiaan sebagai sesama warga Indonesia,” ujar Kepala Daker Bandara PPIH Arsyad Hidayat.

Arsyad lantas menghubungi pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah. Staf KJRI akhirnya turun tangan. Mereka membantu memberangkatkan Jumailiah dan Mariana ke Makkah. “Katanya di Makkah sudah ada yang mau menjemput. Mereka diurus Muasasah Asia Tenggara,” kata Arsyad.

Muasasah Asia Tenggara merupakan lembaga nonstruktural di Kerajaan Arab Saudi. Tugasnya melayani jamaah haji dari kawasan tersebut. Selain jalur kuota, pemerintah Saudi memang menerbitkan visa haji undangan. Jalur khusus itu biasa disebut furoda. Waktu tunggu haji furoda biasanya lebih cepat daripada haji reguler.Namun, kuota haji furoda tidak diberikan kepada pemerintah. Tapi kepada biro-biro travel khusus. Karena itu, Kemenag kesulitan untuk mendata jumlah CJH yang berangkat dengan jalur furoda.

Konjen RI di Jeddah Mohamad Hery Saripudin menjelaskan, kasus yang melibatkan CJH furoda bukan kali ini saja. Hampir setiap tahun ada masalah terkait CJH furoda. Jika sudah seperti itu, PPIH Arab Saudi tidak bisa berbuat banyak. “KJRI juga tidak bisa terlibat banyak karena haji furoda itu kewenangan keluarga Kerajaan Arab Saudi dan kedubes mereka di Indonesia,” terangnya.

Hery menambahkan, di masa lalu kuota haji furoda diberikan pemerintah Saudi kepada para pejabat atau orang-orang tertentu yang dianggap memiliki kontribusi bagi Islam. “Misalnya Kapolri, panglima tertinggi, atau pejabat negara. Fungsinya untuk mempererat hubungan antarnegara,” jelasnya.

Jamaah haji furoda biasanya dijamu secara khusus oleh Arab Saudi. Mereka mendapat fasilitas di atas jamaah haji kebanyakan. Namun, dalam perkembangannya, kuota haji furoda malah beredar di kalangan biro-biro haji swasta. “Kesannya sekarang malah bisnis,” ucap Hery.Hingga kini pemerintah tidak pernah tahu berapa kuota haji furoda untuk Indonesia. “Kita tanya ke mereka (Kerajaan Saudi, Red) juga nggak dikasih,” katanya.

Masalah haji furoda, ungkap Hery, juga menjadi keprihatinan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Sebab, Kemenag tidak pernah mendapat data resmi dari pemerintah Saudi soal kuotanya. Padahal, para CJH furoda ikut masuk ke tenda-tenda yang disiapkan Kemenag untuk jamaah reguler di Mina. Akibatnya, tenda menjadi makin sesak dan tidak nyaman.

 

(*/c9/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *