Hubungan dagang Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) rentan panas lagi. Pemicunya, Negeri Paman Sam tersebut mengajukan permohonan kepada World Trade Organization (WTO) agar memberikan sanksi denda kepada Indonesia sebesar 350 juta dolar AS atau sekitar Rp 5,04 triliun karena melakukan proteksi perdagangan.
Permohonan tersebut disampaikan AS karena Indonesia dinilai gagal memenuhi putusan WTO terkait impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan dalam Dispute Settlement 478. Sesuai keputusan WTO, Indonesia wajib melaksanakan keputusan tersebut pada 22 Juli 2018.
AS merasa dirugikan dengan kebijakan non tarif yang dilakukan Indonesia.Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menepis pemerintah tidak melaksanakan rekomendasi WTO. Menurutnya, tahap-tahap penyelesaian sudah dilakukan.
“Pemerintah telah merespons keputusan WTO dengan mengubah aturan di tingkat menteri. Tapi kalau tingkatnya Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang, kan perlu waktu. Tapi, usulannya sudah disampaikan,” ungkap Darmin.Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan juga memberikan keterangan serupa.
“Kami sedang mendiskusikan waktu perubahan regulasi yang bisa diterapkan,” ungkapnya.Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, AS mengajukan permohonan untuk menaikkan posisi tawar terkait negosiasi dagang.”AS ingin agar produk pertanian mereka bisa kembali diekspor ke Indonesia. Dengan potensi banjirnya produk AS, maka akan mengancam neraca perdagangan,” kata Bhima.
Bhima berpandangan, ada beberapa langkah yang bisa diambil Indonesia menyikapi manuver AS. Pertama, melakukan negosiasi bilateral dengan AS agar mencabut permohonan sanksi terhadap Indonesia. Saat ini masih berlangsung negosiasi terkait Generalized System of Preferences (GSP), sehingga masalah itu bisa masuk poin pembahasan.
Kedua, pemerintah melalui perwakilan di WTO bisa melakukan banding. Mereka harus bisa menyakinkan bahwa Indonesia perlu mengendalikan impor dengan tujuan kemandirian pangan nasional. Dan, ketiga, membujuk Selandia Baru agar tidak ikut memberi sanksi ke Indonesia.”Lobi ke Selandia baru sangat penting dan mendesak agar Selandia Baru tidak mengambil langkah seperti AS,” tuturnya.
Sekadar informasi, kasus ini bermula pada tahun 2016. Saat itu Indonesia menerbitkan 18 aturan yang dianggap sebagai hambatan non tarif untuk sejumlah produk pertanian dan peternakan asal AS dan Selandia Baru. Beberapa produk impor tersebut di antaranya apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah-buah kering, hewan ternak, ayam, dan daging sapi.
Indonesia beralasan penerapan aturan ini bertujuan untuk melindungi petani dan peternak lokal. Sebaliknya, AS dan Selandia Baru menilai aturan tersebut tidak sesuai dengan Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan yang disepakati antar anggota WTO. Kemudian, kedua negara tersebut mengadukan kebijakan Indonesia ini ke WTO. Dan, hasilnya, Indonesia dinyatakan kalah. Hingga kini, baru AS yang resmi mengajukan sanksi terhadap Indonesia ke WTO.
Sementara Selandia Baru belum menunjukkan sinyal akan mengajukan permintaan yang sama. Padahal, kabarnya Selandia Baru juga mengalami kerugian yang lebih besar hingga 1 New Zealand Dollar atau setara Rp 9,7 triliun atas kebijakan Indonesia.
Hubungan dagang AS dan Indonesia belakangan ini mengalami pasang surut. Belum lama ini, AS mengancam mencabut fasilitas bebas bea masuk terhadap 124 produk Indonesia. Bukan sekadar getak sambal, evaluasi kebijakan tersebut saat ini sedang dilakukan AS.
Baru-baru ini, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita terbang ke Negeri Paman Sam melakukan diplomasi dengan pihak-pihak terkait. Enggar meminta dukungan mereka agar pemerintah AS tidak mencabut kebijakan tersebut.
(rmol)