Nasib Pendidikan Anak-Anak Indonesia di Tengah Kebun Sawit Malaysia

Tapi, pendirian SIKK tak benar-benar menyelesaikan masalah. Sebab, SIKK hanya bisa dijangkau anak-anak PMI yang berada di sekitar Kota Kinabalu. Itu pun mayoritas anak yang bersekolah di SIKK harus berangkat sekolah dengan menggunakan bus lokal atau semacam antar jemput sekolah.

Jawa Pos sempat menanyai beberapa orang tua/wali terkait biaya transportasi bagi anaknya yang bersekolah di SIKK. Menurut mereka, setidaknya dibutuhkan biaya transportasi Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per bulan. Jumlah yang tergolong besar untuk para PMI. Menurut pihak KJRI Kota Kinabalu, rata-rata penghasilan mereka di perkebunan 900 RM atau setara dengan Rp 3 juta.

Dari persoalan tersebut, KJRI Kinabalu dan pemerintah Malaysia serta persatuan perusahaan perkebunan dan perladangan lantas mengizinkan adanya pendidikan di kebun-kebun sawit. Kegiatan tersebut awalnya dilaksanakan LSM Humana Child Aid Society. Sebuah LSM asal Malaysia.

Tapi, lagi-lagi muncul kendala. LSM Humana tak mampu menangani seluruh pendidikan anak-anak PMI usia sekolah di Sabah. Yang jumlahnya mencapai 43 ribu orang (data 2012). Kala itu Humana hanya sanggup memberikan pendidikan baca tulis berhitung (calistung) untuk 7.796 anak. Dari sana akhirnya berdiri community learning center atau CLC, layanan pendidikan yang di-support penuh Kemendikbud. Mulai pengiriman tenaga pendidik maupun penyaluran dana bantuan pendidikan.

Dari tahun ke tahun pemerintah Indonesia sebenarnya sudah berupaya meningkatkan jumlah CLC. Baik yang ada di kompleks ladang sawit maupun perkebunan nonsawit. Dari data SIKK, saat ini di Sabah terdapat 227 CLC. Terdiri atas 70 CLC ladang ber-permit (berizin), 39 CLC nonladang (tidak di kompleks perkebunan sawit), dan 118 CLC tidak ber-permit (belum mendapatkan izin dari pemerintah Malaysia).

Selama di Sabah, ada tiga tempat yang menjadi jujukan Jawa Pos dan Asrobudi. Yakni CLC Kundasang, CLC Ribubonus, dan CLC Monsok. Dari pengamatan langsung di lokasi maupun cerita-cerita para guru (yang dilengkapi data visual dari para guru), tak sedikit kondisi CLC yang memprihatinkan. Terutama CLC yang berstatus nonladang, yakni CLC yang tidak didirikan perusahaan ladang atau perkebunan sawit.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *