Melihat Kehidupan Kampung Albino atau Sunda Walanda di Garut (1)

Kampung Ciburuy di Desa Pamalang, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, dikenal sebagai kampung bule. Bukan karena ada warga Eropa di kampung itu, melainkan karena ”banyak” warga berkulit albino.

ANISATUL UMAH, Garut

UNTUK menuju Ciburuy tidak terlalu sulit. Perjalanan bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan, tidak lebih dari 5 km dari kantor Kecamatan Bayongbong ke arah tenggara. Jalan-jalannya sudah diaspal mulus, dengan kontur tanah yang naik turun. Di kiri kanan jalan menuju Ciburuy terhampar pemandangan hijau berupa perkebunan sayur-mayur dan tembakau.

Kampung Ciburuy dikenal orang karena banyak warganya yang berkulit bule. Putih-putih semua seperti orang Eropa. Bahkan, termasuk di alis, bulu mata, kumis, hingga rambut kepalanya yang blonde. Orang luar menyebutnya kampung Sunda Walanda, kampung yang dihuni orang Sunda tapi berkulit seperti orang Belanda.

Menurut cerita Ujang Nana Suryana, 33, selaku kuncen (juru kunci) di Kabuyutan Ciburuy (semacam rumah adat), banyaknya warga berkulit albino sudah ada sejak zaman Kerajaan Pajajaran, berabad-abad silam Kelainan itu diwariskan turun-temurun hingga sekarang karena nenek moyang mereka dulu konon juga memiliki gen albino.

“Saya tidak tahu bagaimana asal muasalnya. Katanya, warga di kampung ini dulunya satu keturunan. Makanya, sampai sekarang keturunan albino di sini masih ada,” ungkap Nana yang dua anaknya juga berkulit albino beberapa waktu lalu. Dua anak Nana itu adalah Dewi Resmana, 13, dan Jajang Gunawan, 2,5. Anehnya, Nana maupun istrinya, Siti Rohmah, 33, berkulit “normal” seperti kebanyakan orang.

Nana mengakui, memang ada nenek moyangnya yang berkulit albino. Tapi, dia tidak tahu nenek moyang generasi keberapa yang mempunyai kelainan gen itu. “Tidak jelas eyang atau buyut saya keberapa yang seperti itu. Cuma yang saya tahu ini disebut masalah gen,” terangnya sembari momong Jajang yang mirip anak bule itu.

“Jadi, kami ini bukan orang Belanda atau keturunan Belanda atau orang sini menyebut Mundinglaya atau Kebo Bule. Kami ini orang Sunda asli, cuma warna kulitnya yang berbeda. Ada kelainan,” imbuh Nana.

Di Kampung Ciburuy saat ini ada sembilan albino. Dari anak-anak yang masih balita hingga manula (manusia lanjut usia). Paling kecil anak Nana, Jajang, 2,5, sedangkan paling tua Emak Entar, 60. Tujuh lainnya adalah Lukman Hakim, 3; Dewi Resmana, 13; Heri Agustin, 15; Rosana, 17; Firman, 40; Isur Suryana, 41; dan Asep, 50.

Jumlah penduduk Kampung Ciburuy saat ini sekitar 1.600 orang. Artinya, angka preferensi albino di Ciburuy mencapai 1:178 atau 1 albino di antara 178 orang normal. Jumlah itu termasuk sangat tinggi. Sebagai perbandingan, berdasar data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka preferensi albino di dunia saat ini 1:17.000. Artinya, hanya ada 1 albino di antara 17 ribu orang.

Sebenarnya, kata Nana, albino di beberapa kampung lain di Garut juga ada. Tapi, umumnya hanya satu dua orang. Contohnya di Desa Pamalayan dan Siderang Datar. Itu pun, bisa jadi, warga albino di dua kampung tersebut masih keturunan warga Ciburuy.

“Di sini (Ciburuy, Red) paling banyak. Sampai ada yang menyebut kampung kami ini kampung bule,” ujarnya dengan logat Sunda yang kental.

Terkait kapan keturunan albino muncul di Kampung Ciburuy, warga tidak bisa memastikan. Menurut warga, lahirnya anak albino di kampungnya merupakan sebuah keajaiban. Seperti yang dialami Nana. Berdasar pengalamannya memiliki dua anak albino, sebelum istrinya melahirkan, selalu ada pemberitahuan lewat mimpi. Tiba-tiba ada orang yang datang ke Nana dan menyampaikan bahwa dirinya akan memiliki anak albino.

“Itulah keajaiban. Nggak bisa ditentukan kapan akan ada anak lahir albino. Wallahu a’lam. Kakak saya juga begitu. Dia juga punya dua anak albino. Yang gede perempuan, adiknya laki-laki,” ungkapnya. Kakak Nana itu bernama Masadi, 50. Dua anak Masadi yang kelebihan pigmen “bule”-nya itu adalah Rosana, 17, dan Lukman Hakim, 3.

Orang albino atau Sunda Walanda memiliki beberapa keterbatasan. Salah satunya, silau saat terkena sinar matahari. Kemudian, warna kulit yang berubah menjadi merah ketika beranjak dewasa karena kerap terpapar matahari. Meski warna kulit bisa berubah, mereka tetap pergi ke kebun untuk bertani.

“Ya tetap ke sawah, kadang hujan-hujanan. Masalah kulit warna berubah tidak jadi masalah. Yang penting, punya mata pencaharian,” terang Nana.

Di Ciburuy, keberadaan albino memang sarat dengan mitos. Isur Suryana, 41, salah seorang warga albino, banyak bercerita tentang mitos Sunda Walanda itu. Berdasar cerita turun-temurun yang didengarnya, kemunculan albino disebabkan adanya seorang keturunan Prabu Mundinglaya dari Kerajaan Pajajaran yang menikah dengan seorang penjajah Belanda yang sempat menetap di wilayah Sunda selama dua tahun. Dari pasangan itulah konon kemudian lahir keturunan albino yang turun-temurun hingga sekarang. “Tapi, kebenaran cerita itu, saya tidak tahu,” ungkap Isur.

Isur pun merupakan satu-satunya albino di keluarganya. Sebab, istri dan dua anaknya tak ada yang berpigmen bule. Dia tidak bisa memastikan, keturunan keberapa dari generasi sebelumnya yang mengalami albino.

“Kalau dari atas, saya ini entah keturunan yang kelima atau yang kedelapan dari kakek buyut yang albino. Ayah dan ibu saya nggak (albino). Dua anak saya juga enggak,” terang Isur saat ditemui di rumahnya sembari menunjukkan dua anaknya yang berkulit normal.

Isur mengakui bahwa istri Nana masih memiliki hubungan kekerabatan dengan ibunda Isur. Bahkan, masyarakat Ciburuy, menurut dia, terbilang masih punya hubungan kekeluargaan yang dekat, karena dari atasnya masih satu keturunan, sehingga semua dianggap masih bersaudara.

“Kami ini satu keturunan. Jadi, semua kami anggap keluarga,” tuturnya dengan pupil mata sedikit bergerak-gerak lantaran silau terkena matahari pagi.

Memiliki keturunan albino di Ciburuy, menurut Isur, sudah tidak lagi aneh. Apalagi, mayoritas albino memilih untuk menetap di kampung halaman, tidak ingin pindah ke desa lain atau bahkan merantau ke kota. Karena itu, jumlah albino di Ciburuy terbilang selalu “banyak”. (*/c10/ari)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *