Cerita di Balik Kesuksesan Dee Dee dan Mathilda Taklukkan Tujuh Puncak Dunia

Fransiska Dimistri Inkirawang dan Mathilda Dwi Lestari menorehkan pencapaian luar biasa. Mereka menjadi perempuan pertama asal Indonesia yang bisa menancapkan sang Merah Putih di 7 pucak tertinggi di 7 benua (seven summits).

M. Hilmi Setiawan, Tangerang

LEBIH dari 50 orang memenuhi pendapa restoran Mang Engking di kompleks Soewarna, Bandara Soekarno-Hatta, Jumat (1/6). Mereka adalah anggota Forum Komunikasi Keluarga Besar Pencinta Alam Bandung Raya (FKKBPABR). Selain menunggu jam buka bersama, mereka tidak sabar mendengar pengalaman Mathilda dan Fransiska (Dee Dee) sepulang dari menyelesaikan misi pendakian puncak Everest.

Dee Dee dan Mathilda adalah mahasiswa hubungan internasional (HI) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. Mereka berdua tergabung dalam organisasi mahasiswa pencinta alam kampus Unpar yang bernama Mahitala. Misi mendaki tujuh puncak tertinggi di tujuh benua itu diberi nama The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala-Unpar (WISSEMU).

Sebelum akhirnya berhasil mencapai puncak Everest (8.848 meter di atas permukaan laut/mdpl) pada 17 Mei, Dee Dee dan Mathilda melakoni pendakian yang cukup panjang. Start mulai 2014. Diawali dari keberhasilan mencapai puncak Gunung Carstensz Pyramid Papua (4.884 mdpl) pada 13 Agustus 2014. Kemudian, di Gunung Elbrus, Rusia (5.642 mdpl), pada 15 Mei 2015.

Setelah itu, petualangan dilanjutkan ke Gunung Kilimanjaro, Tanzania (5.895 mdpl), pada 24 Mei 2015. Lalu, pada 30 Januari 2016 ke Gunung Aconcagua, Argentina (6.962 mdpl). Gunung Vinson Massif, Antartika (4.892 mdpl), pada 5 Januari 2017, dan Gunung Denali, Amerika Serikat (6.190 mdpl), pada 2 Juli 2017.

Setelah berbuka puasa bersama, Dee Dee dan Mathilda secara bergantian menceritakan pengalaman mereka hingga berhasil mendaki puncak Everest. Mereka berdua bertolak dari Indonesia dan sampai di Kathmandu, Nepal, pada 30 Maret. Kemudian, mereka terbang menuju Lhasa, Tibet, pada 10 April. Setiba di Lhasa, keduanya memulai perjalanan menuju Everest Base Camp (EBC) dengan menggunakan mobil, lama perjalanan mencapai lima hari. ”Kami tiba di EBC pada 18 April. Syukur cuaca cerah,” kata Dee Dee.

Setiba di EBC, mereka berdua menjalani pematangan materi selama enam hari. Baru kemudian pada 26 April dimulai proses aklimatisasi. Proses aklimatisasi adalah suatu upaya untuk penyesuaian fisiologis atau adaptasi tubuh menghadapi kondisi alam baru. Proses aklimatisasi tertinggi pernah mencapai titik 7.400 mdpl. Proses aklimatisasi itu berjalan selama satu pekan hingga 3 Mei.

Setelah menjalani rangkaian proses aklimatisasi, Dee Dee dan Mathilda menjalani pemulihan dengan turun ke ketinggian yang jauh lebih rendah. Yakni, ke Desa Zhaxizongxiang yang berada di diketinggian 4.150 mdpl. Setelah itu, mereka menuju ke EBC kembali untuk selanjutnya mendaki menuju puncak Everest.

Dee Dee menuturkan, di kalangan pencinta alam, ada ungkapan bahwa mendaki ke puncak Everest sama dengan makan kue black forest. ”Tidak bisa langsung. Dinikmati satu potong, satu potong, satu potong,” katanya. Dara kelahiran Jakarta, 4 Oktober 1993, itu mengatakan bahwa di setiap sesi mendaki ke puncak Everest, perlu ada istirahat. Supaya tidak stres, karena perjalanan menuju puncak sangat jauh.

Setelah berangkat dari EBC, lanjut Mathilda, mereka naik ke Advance Base Camp (ABC). Lokasinya berada di titik ketinggian 6.400 mdpl. Di ABC itu mereka sempat merasakan sebuah anomali. Umumnya pendaki memanfaatkan waktu istirahat dengan tidur. Supaya tubuh terasa segar dan siap melanjutkan pendakian.

”Tetapi ini beda. Bangun tidur malah pusing. Seperti habis digebukin. Pokoknya, habis tidur malah babak belur,” ujar gadis kelahiran Jakarta, 26 September 1993, itu. Kondisi tersebut terjadi karena mereka tidur di titik yang memiliki kandungan oksigen rendah. Setelah mencapai ABC, Dee Dee dan Mathilda melanjutkan pendakian menuju puncak Everest.

Sebelum mencapai puncak, mereka lebih dahulu melewati camp 1 atau yang biasa dikenal dengan sebutan North Col di ketinggian 7.000 mdpl. Kemudian, melanjutkan ke camp 2 (7.800 mdpl) dan menuju camp 3 (8.224 mdpl).

Di setiap camp itu mereka beristirahat di sebuah tenda kecil. Karena medannya miring, tendanya juga miring. Saat tidur pun, mereka juga harus miring. Namun, selama di camp-camp tersebut, Dee Dee dan Mathilda tidak lagi merasakan tidur yang menyengsarakan meski medannya miring.

Sebab, mereka sudah dilengkapi tabung oksigen. Selama berjalan, mereka menghirup oksigen. Begitu pula ketika saat tidur, oksigen tidak pernah lepas dari hidung mereka. ”Kalau saat tidur, tabung oksigennya ditaruh di samping,” jelasnya.

Mathilda menceritakan, perjalanan menuju puncak Everest benar-benar dimulai dari camp 3. Saat itu, sekitar pukul 21.00 waktu setempat, mereka dibangunkan dua pemandu yang berasal dari etnis Sherpa. Keduanya bernama Pemba Tenzing dan Pasang Tendi.

Setelah terjaga, mereka bergegas melanjutkan pendakian. Dari foto yang mereka tunjukkan, kondisi masih gelap gulita. Medan yang mereka lalui malam itu berupa tebing. Meski sudah dilengkapi dengan oksigen, tidak berarti mereka sama dengan di daratan biasa.

”Saya sempat mengira akan kolaps. Tetapi, ternyata oksigennya mampet,” jelas Dee Dee. Pagi harinya perjalanan menuju puncak Everest akhirnya berakhir dengan manis. Mereka berada di pucuk Gunung Everest bersama para pendaki lain dari penjuru dunia.

”Pendakian lancar. Tapi, bukan berarti mudah. Untungnya, cuaca cerah dan dapat pendamping yang andal,” sambung Mathilda. Dia merasa bangga dan lega karena akhirnya bisa sampai puncak Everest.

Lantas, apakah motivasi mereka menjalankan misi seven summits tersebut? Mathilda mengatakan, sejatinya misi awal mereka ke puncak Gunung Carstensz Pyramid adalah penggantian tali. Kemudian, mereka melihat ada peluang untuk melakukan seven summits.

”Kita juga termotivasi karena belum ada perempuan yang seven summits. Kenapa tidak sekalian saja seven summits,” jelasnya. Kemudian, tim WISSEMU langsung dibentuk sekaligus menyusun perencanaan. Termasuk urutan puncak gunung yang akan ditaklukkan.

Sebelum mendaki ke Everest, mereka mengatakan, tidak ada latihan atau persiapan khusus. Sebab, pendakian gunung pertama sampai keenam mereka jadikan sebagai media belajar. Pada pendakian-pendakian sebelumnya, mereka menggunakannya untuk belajar bagaimana menyiapkan diri menghadapi ketinggian. Juga, belajar menghadapi kondisi medan yang bergletser atau bongkahan es yang telah membatu.

Ke depan, Dee Dee dan Mathilda mengatakan akan terus berbagi pengalaman menaklukkan tujuh puncak tertinggi di tujuh benua kepada rekan-rekan pendaki gunung lainnya. Dia berharap upayanya bisa menjadi motivasi bagi yang lainnya.

Sekjen FKKBPABR Indra Guna atau yang akrab disapa Kroto mengatakan, pencapaian Dee Dee dan Mathilda itu luar biasa. ”Perempuan pertama di Indonesia yang berhasil menjalani misi seven summits,” tuturnya. Selama Dee Dee dan Mathilda menjalani misi pendakian, dia dan teman-temannya terus berdoa supaya diberikan kelancaran.

Selama ini, sambung dia, kegiatan pendakian secara umum masih didominasi laki-laki. Termasuk di dalam komunitas pencinta alam (PA), juga banyak laki-lakinya ketimbang perempuannya. Indra mengaku sudah cukup lama mengenal Dee Dee dan Mathilda. ”Mereka berdua sosok yang humble (rendah hati), ramah, tidak sombong, dan inspiratif,” ujarnya. (*/c10/oki)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *