Jejak Pelaku Bom Surabaya, Hubungan Sampai Tingkat Keluarga

Polisi perlahan-lahan bisa mengurai jaringan yang meneror warga Surabaya selama dua hari terakhir. Rupanya, sel Surabaya mengembangkan sebuah hubungan keluarga yang sangat dekat.

Di antaranya adalah keluarga Dita Oeprianto, ketua JAD Surabaya yang melakukan aksi pada Minggu (13/5); Anton Ferdiantono, anggota jaringan yang tewas di rusun Sidoarjo; Budi Satrijo, wakil Dita yang ditangkap kemarin; dan Tri Murtiono, pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya.

Bacaan Lainnya

“Mereka sangat akrab sekali,” kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam jumpa pers kemarin. “Mereka juga kerap menyambangi sejumlah napi kasus terorisme di sejumlah lapas,” sambung Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin dalam kesempatan yang sama.

Dita diangkat menjadi ketua JAD Surabaya setelah ketua JAD Jawa Timur ditangkap pada November 2017.

Menurut sumber di lingkungan Densus 88, keakraban antarmereka pun bahkan sampai tingkat keluarga. “Sampai anak-anak mereka pun saling kenal dan akrab,” terangnya.

Menurut dia, itu merupakan salah satu bentuk proteksi dalam sel jaringan teror mereka. Menurut sumber yang namanya tak mau disebutkan itu, sebenarnya masih ada lagi selnya. Namun, dia tak bisa mengungkapkan demi kepentingan penyelidikan.

Karena itu, tak mengherankan, ketika menggeledah tubuh Tri Murtiono yang hancur karena aksi bom bunuh dirinya di Mapolrestabes Surabaya kemarin pagi, polisi menemukan KTP Dita di saku celananya. “Artinya, saking akrabnya, KTP antarmereka pun bisa saling diserahkan. Untuk berbagai macam keperluan,” ungkapnya.

Dia lalu bercerita tentang Dita Oeprianto. Pria 47 tahun itu terlahir di lingkungan keluarga yang cukup radikal. Salah seorang sepupunya adalah anggota senior Jamaah Islamiyah. “Sepupunya menjadi salah satu yang ditangkap karena terkait bom Bali I pada 2002,” katanya.

Artinya, sejak awal, Dita tak asing dengan lingkungan tersebut. Namun, Dita baru masuk ke dalam dunia jihadi pada 2014. Dia bertemu dengan orang-orang Jamaah Ansharut Daulah-nya Zainal Anshori.

Hingga kemudian, dia pergi ke Syria atas sponsor Zainal. Ternyata, cita-citanya kandas. Pada 2016, Turki memberlakukan pengetatan perbatasan seiring dengan semakin banyaknya pengungsi Syria yang masuk ke Turki. Dita tertahan dan kemudian dideportasi.

Ketika pulang pada 2016 itulah, Dita satu taklim dengan orang-orang yang menjadi sel-selnya. Yakni, Anton, Budi, Tri, dan sejumlah nama lain yang masih diburu. Ketika Dita pulang, Zainal mengangkatnya menjadi sekondannya.

“Dia termasuk figur penting dalam pengumpulan dan pemberian fatwa serangan dari ISIS pusat yang disampaikan di Malang pada Desember 2016,” jelas petugas tersebut.

Saat itu, JAD sudah bersiap melakukan serangan. Namun, karena tergolong baru, Dita dan selnya tak dilibatkan sama sekali. Karena itu, ketika plot JAD Jawa Timur digulung polisi, sel Dita masih aman.

Kemudian, November 2017, Dita diangkat menjadi ketua JAD Surabaya secara definitif. Itu dilakukan agar sel tersebut bisa lebih cepat berkembang.

Pelan-pelan, Dita dan anggotanya mengembangkan selnya. Untuk itu, mereka belajar dari para napi terorisme di sejumlah lapas di Jawa Timur. Di antaranya, Lapas Porong dan Tulungagung.

Taklim itulah yang kemudian menjadi inti kekuatan sel JAD Surabaya yang dipimpin Dita. Mereka mengembangkan hubungan baik hingga antarkeluarga. Hal itu memastikan tidak ada anggota yang berkhianat atau ada aktivitas yang bocor. Itulah yang membuat polisi sulit memantau mereka.

“Mereka juga sudah bisa melakukan counter-surveillance (kontra pengawasan, Red). Mereka jarang pakai HP dalam berkomunikasi,” ungkap sumber tersebut. Dita sudah masuk dalam daftar pengawasan sepulang dari Syria.

(fim/may/gal/c5/ano)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *