Terdakwa korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP), Setya Novanto telah menjalani sidang dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi), pada Jumat (13/4). Berbeda dari sidang dengan agenda pemeriksaan saksi, kursi pada barisan ruang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat saat itu terbilang longgar. Ruang sidang sempat sesak saat mantan Ketua DPR RI itu menjalani sidang tuntutan dari jaksa KPK, Kamis (5/4).
Dengan pengawalan ketat aparat kepolisian mulai dari rumah tahanan, pria kelahiran Bandung, Jawa Barat itu tiba di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada 09.00 WIB. Di luar pengadilan, terlihat ratusan polisi Sabhara turut mengamankan jalannya persidangan pledoi Novanto.
Mengenakan kemeja batik berwarna merah, Novanto seolah ingin menunjukkan ketegarannya meski telah dituntut oleh jaksa KPK selama 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Sebelum sidang dimulai, ia pun sempat melontarkan harapan agar majelis hakim dapat memutus dengan seadil-adilnya.
“Saya jelaskan secara menyeluruh pernyataan yang saya ketahui, apa yang saya lihat dan saya sudah koopertif kepada JPU dan KPK,” ucap Novanto.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu kemudian duduk di kursi pesakitan di hadapan majelis hakim, jaksa KPK, dan sorotan kamera media yang menyiarkan secara langsung pembacaan pledoinya. Novanto membacakan 31 lembar nota pembelaannya dan mengawalinya dengan kutipan ayat Alquran Surat An-Nisa.
“Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil (Q.S An-Nisa: 58),” ujar Novanto mengawali pledoinya.
Perjuangan Hidup Novanto
Disaksikan oleh jutaan masyarakat Indonesia melalui layar kaca televisi, Novanto menceritakan perjalanan hidupnya kepada majelis hakim dengan harapan semua pihak tidak hanya melihat sisi negatifnya. Novanto bercerita bahwa dirinya bukanlah anak keturunan konglomerat yang dengan mudahnya mendapatkan yang diinginkan. Novanto mengatakan, dirinya merupakan anak keluarga miskin yang merantau ke Surabaya, Jawa Timur.
Berbagai pekerjaan kasar dia jalani seperti menjadi penjual beras dan madu di pasar, sales mobil, hingga kepala penjualan mobil untuk wilayah Indonesia Timur. Novanto pun pernah menjadi model dan menyabet gelar Pria Tampan Surabaya 1975. Salah satu orang berjasa dalam perjalanan karirnya hingga Senayan, ia sebut yakni mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Hayono Isman.
“Saya rela mengabdi sebagai pembantu, nyuci, ngepel, menjadi sopir, dan bangun pagi-pagi untuk antar sekolah anak-anaknya. Semua saya lakukan agar tetap bisa terus melanjutkan kuliah saya,” tutur Novanto membaca pledoinya dengan sesenggukan.
Tak hanya bercerita pengalaman hidupnya di hadapan majelis hakim, kemudian Novanto menceritakan jasa-jasanya kepada negara selama menjabat sebagai Ketua DPR RI. Novanto menyebut telah menambah jumlah kuota serta pemondokan ibadah haji Indonesia saat Raja Salman menyambangi gedung DPR RI pada 2 Maret 2017 lalu.
“Saya juga menggagas sistem parlemen modern yang mengedepankan pemanfaatan teknologi, sehingga mempermudah akses masyarakat untuk mengetahui semua kegiatan anggota DPR RI,” ungkap Novanto kepada majelis hakim.
Didakwa ikut menerima aliran dana sebesar USD 7,3 juta dan terbukti menerima hadiah jam tangan mewah bermerek Ricahrd Mille seri RM senilai USD 135 ribu dari proyek e-KTP senilai Rp 5,8 triliun, Novanto mengaku menyesal perbuatannya. Oleh karena itu, ia pun meminta majelis hakim untuk tidak memblokir aset kekayaannya dan hak politiknya pasca bebas dari jeratan hukum yang melilitnya.
“Saya masih punya tanggungan istri dan dua orang anak yang masih sekolah, yang masih berusia 12 tahun dan masih membutuhkan figur ayah,” pinta Novanto kepada majelis hakim.
Novanto Menangis
Kemudian saat menyampaikan permintaan maaf kepada istri dan anak-anaknya, Novanto tak kuasa menahan tangis. Majelis hakim yang melihat kemudian meminta Novanto untuk minum sejenak. Melanjutkan permintaan maafnya kepada keluarga, Novanto kemudian menyebut nama istri tercintanya dan empat orang anaknya tersebut.
“Istri saya Deisti Astriana Tagor dan anak-anak saya Rheza Herwindo, Dwina Michaella, Gavriel Putranto, dan Giovanno Farrel Novanto, sungguh teramat berat cobaan dan musibah yang menimpa keluarga kita. Kita adalah kelaurga yang kuat. Kita adalah insan pilihan Allah SWT. Sungguh pertolongan Allah sangatlah dekat,” ucap Novanto sesenggukan tak kuasa menahan tangis.
Setelah melontarkan permintaan maaf kepada istri dan anak-anaknya, kemudian Novanto membacakan puisi berjudul ‘Di Kolong Meja’ karya Linda Djalil yang dibuat pada 5 April 2018. Puisi tersebut diduga untuk menyindir pihak-pihak yang ingin meloloskan diri dari jeratan hukum proyek e-KTP. Berikut puisi yang dibacakan Novanto.
Di Kolong Meja
Di kolong meja, ada debu yang belum tersapu
karena pembantu sering pura-pura tak tahu
Di kolong meja, ada biangnya debu
yang memang sengaja tak disapu
bersembunyi berlama-lama
karena takut dakwaan seru
melintas membebani bahu
Di kolong meja, tersimpan cerita
seorang anak manusia menggapai hidup
gigih dari hari ke hari
meraih ilmu dalam keterbatasan
untuk cita-cita kelak yang bukan semu
tanpa lelah dan malu
bersama debu menghirup udara kelabu
Di kolong meja, muncul cerita sukses anak manusia
yang semula bersahaja
akhirnya bisa diikuti siapa saja
karena cerdas caranya bekerja
Di kolong meja, ada lantai yang mulus tanpa cela
ada pula yang terjal bergelombang
siap menganga
menghadang segala cita-cita
apabila ada kesalahan membahana
kolong meja siap membelah
menerkam tanpa bertanya
bahwa sesungguhnya ada berbagai sosok yang sepatutnya jadi sasaran
Di kolong meja, ada pecundang yang bersembunyi
sembari cuci tangan
cuci kaki
cuci muka
cuci warisan kesalahan
Apakah mereka akan senantiasa di sana
dengan mental banci berlumur keringat ketakutan
dan sesekali terbahak melihat teman sebagai korban menjadi tontonan?
Lantunan puisi tersebut Novanto baca dengan penuh khidmat. Sindiran tertuju pada seorang yang mengumpat di balik kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Mengakhiri pledoinya, Novanto menyerahkan seluruh isi pledoi yang dibacakannya sebanyak 31 halaman serta buku berjudul ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat’ yang merupakan otobiografi Setya Novanto.
(ce1/rdw/JPC)