Ahli Gigi Tertua yang Mempertahankan Usahanya di Kota Kediri

Mayoritas suku bangsa Hupek dari Tiongkok memiliki usaha bikin gigi palsu sebagai mata pencaharian utama. Hingga kini keturunan mereka masih meneruskannya. Di Kota Kediri, salah satu yang tertua ada di perempatan Sumur Bor, Kelurahan Pakelan.

DINA ROSYIDHA

Bangunannya sederhana dan terkesan vintage. Langsung berimpitan dengan trotoar jalan tanpa ada halamannya. Meski menggunakan cat kuning gading tidak membuat rumah yang tepat di perempatan Sumur Bor, Kelurahan Pakelan, Kota Kediri tersebut terlihat mencolok.

Hanya tulisan “Ahli Gigi” yang membuat para pengguna jalan paham bahwa rumah tersebut bukan hunian biasa. Ketika Jawa Pos Radar Kediri berkunjung, Kamis (18/1), suasananya sedang sepi. Hanya ada seorang pria yang santai di ruangan paling depan yang dibiarkan terbuka. “Silakan masuk,” ujar pria yang kemudian mengenalkan dirinya bernama Iwan Sunjaya dengan ramah.

Ternyata dialah pemilik usaha “produsen gigi palsu” yang sudah puluhan tahun berpraktik di sana. Bahkan pria berkacamata tersebut tidak tahu kapan kali pertama usaha gigi miliknya tersebut ada di simpang empat sumur bor itu. “Ini usaha sejak kakek nenek saya. Kurang tahu sejak kapan berdirinya,” katanya.

Memang dulunya, suku bangsa Hupek dari Tiongkok sebagian besar memiliki usaha bikin gigi dan kacamata sebagai mata pencaharian utama. Namun seiring berjalannya waktu, usaha milik sesepuh Iwan yang berkembang hanya pembuatan gigi palsu saja. “Sejak dipegang ayah saya, usaha kacamata sudah ditutup,” tambahnya ketika ditemui di kediamannya.

Iwan sendiri sejak muda sudah sering membantu ayahnya, Arifin Sunjaya, membuat gigi palsu. Makanya meski sebelum diserahi usaha “ahli gigi”, anak kedua dari empat bersaudara ini sudah terampil melayani para pelanggan. “Saya memang yang diberikan tugas untuk meneruskan usaha ini karena saya satu-satunya anak laki-laki,” tandasnya.

Hingga kemudian di tahun 1985, Iwan resmi menggerakkan usaha ahli gigi secara mandiri. Dirinya antusias menjalankannya karena memang ada banyak orang yang sudah berlangganan dengan pembuatan gigi milik ayahnya tersebut. Sehingga Iwan hanya meneruskan saja. “Tapi tetap harus ada upaya mengembangkannya karena generasinya kan lambat laun habis juga karena sudah tua-tua,” beber pria asli Pakelan tersebut.

Seperti yang saat ini dilakukannya. Berawal dari kepepetnya salah satu pelanggan membuat Iwan harus berinovasi. Saat itu, ada pelanggan yang membutuhkan gigi palsu dalam waktu cepat. “Waktu itu mepet dengan masa penerimaan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia),” kenangnya dengan mata menerawang.

Iwan yang biasanya menggunakan metode manual, yakni mencetak bentuk gigi menggunakan malam, mencoba membuat bentuk gigi dari pabrikan. Baru kemudian bentuknya disesuaikan dengan kontur gusi pelanggan. “Hasilnya lebih cepat dan rapi,” jelasnya.

Cara tersebut sempat ditentang pamannya yang juga ahli gigi senior. Metode tersebut dianggap tidak sesuai dengan prosedur pembuatan gigi yang benar. Namun ketika tahu hasilnya, kerabat yang dikenal kaku dan kuno tersebut akhirnya mengikuti cara tersebut. “Dulunya dimarah-marahi, tetapi akhirnya ikut juga,” bebernya kepada wartawan koran ini.

Bagi Iwan, yang paling susah dalam usaha gigi adalah pembuatannya. Pasalnya, dia harus telaten mengikir gigi buatan yang terbuat dari akrilik sehingga menyerupai aslinya. Apalagi jika ada pesanan gigi palsu dari platina dan emas. “Harus ngecor gigi yang ukurannya kecil. Jadi jari sering terluka karena kalau pakai sarung tangan hasilnya jelek,” jelas Iwan.

Namun kini gigi palsu dari platina dan emas semakin tidak diminati. Iwan juga tidak lagi membuatnya karena antara harga dengan usaha membuatnya tidak sebanding. “Sangat sulit buatnya jadi kita tidak buat lagi sekarang,” beber bapak tiga anak tersebut.

Bagi Iwan, yang paling penting dalam usahanya adalah kualitas barang dan kenyamanan pelanggan. Meski gigi yang dibuat berkualitas bagus, jika pelayanan tidak baik bisa membuat pelanggan lari dan berganti tukang gigi. “Makanya harus telaten menjaga para pelanggan ini. Kalau mereka puas, pasti getok tular sampai membawa pelanggan baru,” paparnya.

Makanya bagi Iwan, meski ditengah gempuran modernitas dan produksi gigi palsu pabrikan tidak membuat usahanya mati. Masih banyak orang yang menggunakan jasanya meski tidak seramai dulu. Meski demikian, hal ini dianggap wajar. “Sama seperti orang dagang kadang ramai kadang sepi. Ini sudah seminggu masih belum ada lagi pelanggan yang datang,” curhatnya.

Sekarang Iwan masih belum terpikirkan bagaimana keberlanjutan usaha tersebut ke depannya. Saat ini belum ada anaknya yang menunjukkan ketertarikan melanjutkan usaha yang turun-temurun itu. “Ya, dilihat saja nanti. Sekarang dijalani dulu apa adanya,” pungkasnya.(rk/dna/die/JPR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *