Kaleidoskop Freeport Beri 51 Persen Saham ke Pemerintah

Tarik ulur mengenai divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 51 Persen akhirnya berakhir. Tepat pada 29 Agustus 2017, induk usaha dari Freeport McMoran itu bersama dengan pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Ignasius Jonan akhirnya mengumumkan kesepakatan itu.

PTFI setuju melepas sahamnya, atau melakukan divestasi, sebesar 51 persen kepada pemerintah Indonesia dan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian yang harus selesai Januari 2022 dan ada stabilitas penerimaan negara.

Bacaan Lainnya

Hal itu sekaligus mengakhiri perseteruan perusahaan raksasa tambang asal Amerika Serikat tersebut dengan pemerintah Indonesia yang terjadi setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP no 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan minerba.

“Kita sepakat perpanjangan pertama sepuluh tahun sampai 2031 dan kedua sampai 2041. Akan dicantumkan secara detail kalau memenuhi persyaratan maka (perpanjangan) akan disetujui,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan Agustus lalu.

Namun, dibalik perjuangan itu semua, tidak mudah meyakinkan rakasasa tambang asal Amerika Serikat tersebut. Sebab, pada Maret 2017 lalu, PTFI belum menyetujui melepas sahamnya (divestasi) sebesar 51‎ persen, sesuai dengan kewajiban yang ditetapkan pemerintah.

Staf Khusus Kementerian ESDM Hadi M. Djuraid menjelaskan, mereka belum ingin melepasnya karena kesepakatan tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan mineral dan batubara (minerba).

“Belum (sepakat divestasi 51 persen),” kata ‎Hadi.

Hadi menuturkan, yang telah disepakati Freeport Indonesia dari proses perundingan yang dilakukan dengan Pemerintah Indonesia adalah pelepasan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Selain itu, Freeport juga meminta kepastian terait pajak.

Terlalu banyak meminta, membuat Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan murka. Dirinya tidak ingin Freeport terlalu banyak mengatur kesepakatan tersebut. Menurutnya, pemerintah akan mengakomodir sebaik mungkin keinginan masing-masing pihak agar tidak dirugikan.

“Jangan dia yang ngaturlah kalau itu. Kita ini melindungi kepentingan dia, tapi negara ini jangan diatur-atur orang lain, jangan maunya dia, maunya kita juga boleh dong. Maunya kita, sesuai aturan. Enggak mau lagi kita seperti dulu-dulu,” tuturnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga menegaskan bahwa pemerintah masih dalam posisi yang sama terkait proses negosiasi dengan PT Freeport Indonesia. Salah satunya yang berkaitan dengan penerimaan negara.

Poin-poin yang diminta pemerintah seperti perpajakan, kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), divestasi saham, serta perubahan kontrak menjadi izin usaha pertambangan khusus IUPK merupakan hal yang tetap dipegang teguh pemerintah.

“Apakah itu menyangkut smelter, menyangkut penerimaan negara, menyangkut divestasi, dan menyangkut perpanjangan operasi, kita akan terus jaga agar kepentingan Indonesia bisa dikedepankan atau dijaga,” tegasnya.

Pemerintah pun menegaskan lagi pelepasan saham Freeport menjadi 51 persen setelah pemerintah menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2014. Namun, Freeport sendiri pada saat itu masih bersikukuh ingin divestasi sebesar 30 persen. Apalagi, kewajiban itu hanya diwajibkan kepada Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan kepada Freeport yang masih berstatus KK.

Maka dari itu, setujunya perusahaan untuk menjual 51 persen saham kepada pemerintah sebenarnya sudah kemajuan tersendiri, meski keinginan ini baru sebatas komitmen. Untuk meyakinkan Freeport saja, kedua belah pihak harus melalui negosiasi yang melelahkan sejak Februari kemarin.

Hingga kabar itu tenggelam, pemerintah pun akhirnya mengumumkan kesepakatan itu. “Perundingan sudah memakan waktu, bu Ani (Menteri Keuangan Sri Mulyani) dan saya sudah ditugaskan pak Presiden. Ini perundingannya sejak awal tahun ini dan mulai intensif tiga bulan lalu. Dengan berbagai upaya semaksimal yang bisa kita lakukan, dan dengan kerjasama yang baik. Jadi semua instansi pemerintah, dicapai beberapa hal, walaupun ini tidak mudah ya,” kata Jonan.

Selain itu, PTFI setuju membangun smelter sampai 5 tahun kedepan atau Januari 2022 sejak IUPK diterbitkan.
“Prinsipnya, detailnya nanti pada tanya pasti. Jadi bahasanya pengolahan dan pemurnian, yang harus selesai Januari 2022,” terangnya.

Freeport juga sepakat untuk menjaga besaran penerimaan negara. Nantinya, besaran penerimaan negara lebih baik dibandingkan penerimaan negara dibawah perjanjian kontrak karya. “Karena itu, gak ada lagi KK tapi IUPK,” ucapnya.

Terakhir, pemerintah setuju memberikan perpanjangaan izin operasi kepada PTFI dengan sistem 2×10 atau 2 kali diperpajang dengan setiap masa perpanjangan selama 10 tahun.

Itu artinya, Freeport akan mendapat perpanjangan hingga 2031 dan bisa mengajukan perpanjangan lagi lima tahun sebelum kontrak habis.

Setelah perjuangan panjang tersebut, kini pemerintah masih punya beban untuk memastikan siapa yang akan membeli divestasi saham tersebut. Holding BUMN Tambang yang terdiri dari PT Inalum, PT Antam, PT Bukit Asam dan PT Timah, disebut akan mengambil alih saham tersebut, dimana 31,64 persen oleh BUMN dan 10 persen sisahnya oleh pemerintah daerah setempat. Indonesia saat ini telah memiliki 9,36 persen saham sehingga jika dijumlahkan menjadi 51 persen.

“Yang jelas, Bu Menteri BUMN inginnya holding tambang yang ambil (divestasi Freeport),” tutup Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno.

(hap/JPC)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *