Selamatkan Petani Tembakau Ironi Kretek, Kekayaan Nusantara yang Terancam

Saat ini, petani tembakau resah atas kebijakan pemerintah yang cenderung tidak berpihak kepada mereka.

Apalagi setelah muncul Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari organisasi kesehatan dunia WHO (World Health Organization) yang berusaha dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Bacaan Lainnya

==============

KONVENSI dari WHO itu menjadi ancaman petani tembakau negeri ini, termasuk petani tembakau di Jateng.

Sebab, isi FCTC tersebut dinilai kental dengan misi asing yang akan menghancurkan masa depan petani tembakau, kretek, dan produk turunannya di Indonesia.

“Isi FCTC itu salah satunya adalah upaya petani tembakau akan dialihkan untuk menanam tanaman lain.

Termasuk pengendalian tentang regulasi rokok. Meskipun FCTC ini belum diratifikasi dan ditandatangani, namun fakta yang terjadi di lapangan, muatan FCTC tersebut telah diberlakukan.

Ini yang membuat petani tembakau Indonesia resah,” kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Suseno kepada Jawa Pos.

Selain FCTC, lanjut Suseno, pemberlakuan regulasi melalui Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pelarangan iklan rokok, peringatan ‘rokok membunuhmu’ dan lain-lain, juga merupakan kebijakan yang tidak pro petani tembakau.

Ironisnya lagi, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, bahkan sempat mengeluarkan wacana petani tembakau akan diarahkan untuk menanam tanaman lain.

“Nantinya ada rencana petani diberikan bantuan kambing agar beternak dan diarahkan untuk menanam tanaman selain tembakau.

Saya nggak tahu apakah wacana itu benar atau tidak?” ujarnya setengah bertanya.

Kalau petani sudah tidak menanam tembakau, lanjut Suseno, maka nantinya kebutuhan tembakau nasional akan diimpor dari luar negeri.

Padahal saat ini kebutuhan tembakau nasional berkisar 300 ribu ton per tahun.

“Kalau petani tidak menanam tembakau, maka 300 ribu ton tembakau tersebut akan impor.

Jika demikian, berapa devisa negara kita yang hilang? Sudah merugikan petani, masih kehilangan devisa,” katanya heran.

Beberapa tahun terakhir saja, lanjut Suseno, sejak pemerintah memberlakukan kebijakan yang menyudutkan kepada perokok, telah terjadi penurunan konsumsi rokok beruntun sejak 2015-2016, yakni konsumsi rokok sebanyak 344 miliar batang selama setahun, turun menjadi 340 miliar batang dalam setahun, atau turun 4 miliar batang.

Sedangakan pada 2017 ini terjadi penurunan kurang lebih 6 miliar batang.

“Dampak dari penurunan konsumen rokok ini secara otomatis mengakibatkan serapan tembakau dari petani mengalami penurunan,” ujarnya.

Anehnya, kata dia, kebutuhan tembakau di Indonesia tidak dipenuhi oleh tembakau Indonesia sendiri, tetapi pemerintah masih mengizinkan impor tembakau dari luar negeri.

Dari sektor ekonomi, tembakau ini menyumbangkan pajak cukai sangat besar kepada pemerintah, yakni kurang lebih Rp 150 triliun per tahun.

Nilai ini jauh lebih banyak berlipat-lipat dibandingkan dari laba Freeport yang hanya kisaran Rp 20 triliun hingga Rp 23 triliun.

“Bahkan nilai laba seluruh BUMN di Indonesia saja hanya mampu mengumpulkan pendapatan Rp 44 triliun.

Karena itu, kami meminta agar pemerintah memberi perlindungan kepada petani tembakau,” harapnya.

Dosen Fisip Universitas Diponegoro (Undip) Turtiantoro mengatakan, di balik polemik tembakau, kretek, maupun rokok, ada perang dagang internasional.

Mengapa sejak zaman dahulu kala orang Barat menjajah nusantara (Indonesia)? Sebab, Indonesia adalah negara yang kaya rempah-rempah.

Mulai dari karet, minyak kelapa, tebu, semua pernah merajai dunia.

Tetapi semuanya dihantam habis-habisan oleh Barat hingga komoditas asli Indonesia itu hilang. Tentu saja, setelah itu masuklah komoditas dari Barat.

“Begitupun tembakau maupun kretek Indonesia ini.

Ada upaya penghancuran rokok kretek sebagai warisan budaya.

Di balik semua itu adalah perang dagang internasional, perang rokok putih dangan kretek, ujung-ujungnya Indonesia menjadi pasar komoditas rokok putih dari Barat,” katanya.

Hendardi, aktivis Hak Azasi Manusia (HAM), mengatakan, kretek adalah khas Indonesia.

Tidak ada satupun negara di dunia yang memiliki kretek.

“Berbicara soal kretek, artinya berbicara kesejahteraan banyak orang.

Sebab, keberadaan kretek begitu luar biasa memberi kontribusi untuk negara.

Adanya kretek diserang oleh rezim ‘kesehatan’ ini membuktikan pemerintah tak tegas, pemerintah hanya mengikuti irama dunia,” ujar Hendardi.

Dia menilai, adanya keterlibatan ‘rezim kesehatan’ yang turut berperan aktif melakukan tekanan pengendalian tembakau, juga membuktikan adanya kepentingan persaingan industri farmasi.

“Rezim kesehatan ini memunculkan kelompok yang berkampanye antirokok.

Padahal merokok adalah hak konstitusional setiap warga negara dan dilindungi undang-undang.

Merokok bukan hal yang ilegal, apalagi sebuah kejahatan,” katanya.

Ketua Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LKRI), Agus Condro Prayitno, mengatakan, seorang perokok rata-rata mampu memberikan kontribusi kepada negara hingga Rp 250 ribu per bulan, dengan hitungan setiap hari mengonsumsi sebungkus rokok seharga Rp 15 ribu.

Cukai per bungkus Rp 8 ribu.

Target pendapatan negara dari cukai rokok pada 2017 ini Rp 138 triliun.

Bahkan pada 2018 mendatang, Kementerian Keuangan kembali menaikkan target pendapatan dari cukai rokok sebesar Rp 148 triliun.

Tahun ini saja, lanjut dia, sebagian dari hasil pendapatan cukai rokok ini digunakan untuk menyuntik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang mengalami defisit keuangan.

“Tapi ironis, perokok sebagai pembayar pajak yang taat justru mengalami deskriminasi dalam sejumlah kebijakan.

Bahkan muncul aturan bahwa BPJS Kesehatan berencana tidak meng-cover konsumen rokok,” katanya. (sm/amu/ida/JPR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *