Keteguhan Grup Musik Harmony Kelenteng Boen Bio

Bertahan Sambil Menanti Generasi Penerus

Musik rohani adalah bagian ritual ibadah umat Khonghucu. Di Kelenteng Boen Bio, grup musik Harmony terus bertahan sambil menanti generasi penerus.

SALMAN MUHIDDIN, Surabaya

SPIRIT Wong Feihung, tokoh legendaris bela diri, sekaligus tabib, asal Tiongkok, merebak di Kelenteng Boen Bio, Minggu (5/11). Semangat itu menggelora dari ruangan sempit, berukuran 2 x 5 meter, di belakang kelenteng.

Nan er dang zi qiang, lagu tema film Once Upon a Time in China sedang dimainkan grup musik Harmony. Film yang dibintangi Jet Li tersebut memang tontonan populer pada tahun 90-an. Filmnya legendaris, lagu temanya juga legendaris. Mendengarkannya seperti bernostalgia.

Siang itu, sejumlah umat kelenteng belum pulang. Ada arisan. Mereka yang belum pulang mendekat seperti terseret magnet. Dentuman floor tom drum dan suara pecah simbal yang digebuk Lim Tiong bikin merinding.

’’Ciamik,” ujar salah seorang perempuan lanjut usia sambil manggut-manggut.
Penonton dadakan itu mengintip dari pintu dan jendela ruang musik tersebut. Sengaja tidak disebut studio musik. Sebab, setengah ruangan itu adalah gudang. Lemari penyimpanan dan perkakas di dalam kardus harus berdesak-desakan dengan alat musik beserta pemainnya.

Di dalamnya ada sembilan pemain musik yang ditemani dua kipas angin. Mereka berpeluh, tapi tidak mengeluh. Yang ada malah raut gembira karena bisa berkumpul dan berlatih.

Saat itu vokalis yang datang hanya satu. Yakni, Jefferson. Vokalis perempuan berhalangan hadir untuk latihan.

”Enggak masalah. Saya bisa suara laki-laki dan perempuan,” ucap pria yang mampu menyanyikan lagu-lagu dengan nada tinggi tersebut setengah berkelakar. Di dalam ruangan itu, ada pemain drum, keyboard, gitar, dan bas. Ada juga empat pemain alat musik tradisional Tionghoa. Alat musik modern berpadu dengan tradisional.

Alat musik paling besar, yangqin, dimainkan Chung Hian. Alat musik yang punya banyak dawai itu dimainkan dengan cara dipukul secara lemah lembut. Alat pemukulnya terbuat dari bambu tipis dengan ujung berlapis karet.
Indira Agustin memainkan guzheng. Kotak cembung dengan 21 dawai itu dimainkan dengan cara dipetik. Dawai-dawai tersebut disetel pada nada pentatonis yang terdiri atas do, re, mi, sol, dan la. Sudah ada empat kuku palsu yang terpasang di jemari arsitek perempuan itu.

Ijin menjadi tukang tiup. Dia adalah pemain dizi, seruling tradisional Tionghoa yang mengisi nuansa romantis dan kalem. Sebelum dimainkan, dia sibuk memasang membran tipis di salah satu lubang dizi. Sangat tipis. Setipis kulit ari buah salak. Tersenggol sedikit bisa robek.

Yang terakhir adalah erhu. Hampir sama dengan biola. Bedanya, alat musik gesek tersebut hanya memiliki dua senar. Sedangkan biola punya empat. ”Kalau di sini kayak yang dipakai tukang arum manis. Tapi, mereka pakai kaleng susu,” ujar Bing Slamet Wijaya, pencetus grup musik Boen Bio.

Erhu yang dia pakai menggunakan tabung kayu. Di bagian depan terdapat sisik ular yang berfungsi menyalurkan getaran dari senar erhu. Semakin besar sisik ular itu, semakin merdu suara yang dihasilkan. Sisik besar biasanya diambil dari bagian kepala ular.

Lagu-lagu pop memang sering digunakan untuk latihan. Namun, yang terpenting pada latihan setiap pekan adalah mematangkan lagu-lagu rohani. Misalnya, lagu Sinar Pancaran atau Doaku yang biasa dimainkan sebelum doa. Beberapa lagu pujian baru juga harus dimatangkan.

Setelah berlatih, para pemain menyantap gorengan tahu isi dan es blewah. Mereka mengisi kembali tenaga setelah dua setengah jam berlatih. Sambil duduk di lorong gedung di belakang kelenteng, Bing menceritakan kisah terbentuknya grup musik.

Menurut dia, musik adalah elemen penting ritual umat Khonghucu. Nabi Kongzi sangat suka dengan musik. Karena itu, lagu-lagu pujian selalu dilantunkan ketika beribadah. Terutama saat hari-hari besar keagamaan Khonghucu.

Namun, Kelenteng Boen Bio tidak memiliki grup musik hingga awal 1980-an. Pada 1981, Bing menginisiatori terbentuknya grup musik untuk peringatan hari lahir (harlah) Nabi Kongzi.

”Saya bikin drum dari timba,” ujarnya sambil terus meringis karena mengingat peristiwa itu. Karena keterbatasan, drum pun tidak terbeli. Simbalnya dari seng bekas yang digunting. Hi-hat drum diganti tamborin alias icik-icik. Pemukul bas drum yang diinjak dia bikin sendiri dari kayu dan pegas. Kreatif. Kepepet.

Drum bikinan sendiri itu diiringi musik gitar dan organ. Jemaat kelenteng yang melihat saat itu kaget. Namun, Bing dan kawan-kawannya cuek saja. Yang penting, tujuan dan niatnya mulia. Tentu Tuhan tidak mempermasalahkan cara umatnya beribadah meski dalam keterbatasan.

Pertolongan lalu datang secepat kilat. Salah seorang jemaat yang melihatnya merasa iba. Dia memberikan sejumlah uang untuk membeli drum buat kelenteng. ”Untuk beli drum butuh berapa?” ujar Bing yang menirukan salah seorang pengusaha dermawan itu.

Bing menyebut Rp 50 ribu. Itu sudah sangat banyak. Bing lantas pergi ke Praban, pusat alat musik paling lengkap pada zaman itu. Ternyata harga drum cuma Rp 35 ribu. Susuknya (uang kembalian) Rp 15 ribu dia gunakan untuk membeli gitar dan kabel-kabel untuk pertunjukan selanjutnya. Gairah bermusik pun semakin berkobar.

Di grup musik tersebut, Bing dianggap sebagai nyawanya. Sebab, Bing bisa segala alat musik. Dia juga merekrut pemain-pemain baru dan mengajari mereka. Di antara seluruh personel grup musik itu, hanya Bing yang berprofesi sebagai guru musik. ”Saya tekuni gitar. Alat musik lainnya sekadar bisa lah, ” ujar pria asal Sidoarjo tersebut merendah.

Bing mengabdikan sebagian waktunya untuk grup musik kelenteng. Hidupnya memang dari musik. Kisah masa kecilnya mirip film August Rush. August, seorang bocah yang tiba-tiba mahir bermain musik dan menjadi komposer genius.

Saat Bing duduk di bangku TK nol besar, dia bisa menirukan permainan piano gurunya. Gurunya kaget karena Bing belum pernah belajar piano sebelumnya. Di rumah, kemampuan bermusiknya diasah dengan seruling Jawa dan harmonika.

Saat kelas I SD, penglihatannya menurun. Setelah diperiksakan ke dokter mata, kondisinya bertambah parah. Sebab, dokter salah memberi dia kacamata. Namun, di tengah keterbatasan melihat, kemampuan mendengar Bing semakin terasah.

Saat itu suasana politik sedang genting. Bing yang masih SD terpaksa putus sekolah. Memang, ketika itu pemerintahan Orde Baru membatasi praktik budaya Tionghoa. Sekolah-sekolah Mandarin pun ditutup.

Lagi-lagi, ada hikmahnya. Bing lebih fokus belajar musik di rumah. Hingga kini dia bisa memainkan lebih dari 12 alat musik. Dia juga memiliki kemampuan sebagai komposer lagu. Mengingat sulitnya kehidupan saat itu, dia miris melihat minimnya minat penerus grup musik kelenteng. Padahal, saat ini sudah 17 tahun etnis dan budaya Tionghoa diakui negara. Dahulu, jangankan bergabung di grup musik kelenteng, beribadah saja dibatasi.

Pertunjukan musik Tionghoa tidak boleh secara terang-terangan atau ditampilkan di muka umum.
Saat ini hak-hak warga Tionghoa telah dikembalikan. Namun, para pemuda masih ogah melirik hal-hal yang berbau tradisional. ”Malah orang Jawa yang suka saat lihat kami tampil,” jelas Bing.

Secercah harapan muncul setelah Doni, 15, dan Erwin Suwanto, 13, bergabung. Keduanya adalah murid les Bing. Dua kakak adik tersebut mengisi posisi drum dan keyboard di grup musik Harmony. Sudah diajak manggung bareng. Memang, selain di kelenteng, Harmony sering menerima undangan untuk tampil di berbagai tempat.

Dua remaja tersebut juga terus berlatih alat-alat musik tradisional. Mereka tidak terlihat canggung saat berlatih. ”Awalnya memang minder karena yang main senior-senior,” jelas Doni, putra Candra Suwanto.

Doni kini belajar erhu dan guzheng. Begitu pula adiknya. Dia mengaku tertarik dengan musik tradisional karena keunikannya. Selain itu, di Indonesia pemain musik tradisional Tionghoa belum banyak.

Doni pernah mengajak teman-temannya untuk bergabung. Ada yang mau. Tapi, di tengah perjalanan, mereka memutuskan untuk keluar. Alasannya, tugas sekolah menumpuk. Siswa kelas XI SMK St Louis Surabaya itu juga punya banyak tugas. Agar bisa berlatih di Boen Bio, dia harus menuntaskan seluruh PR-nya pada Sabtu.

Seluruh pemain musik di grup itu memang harus punya komitmen saat berlatih atau tampil. Yang sekolah harus menyelesaikan PR, yang bekerja sebagai pedagang harus meninggalkan dagangannya, dan yang bekerja di perusahaan harus izin ke bos.

Sebelum mengakhiri pertemuan sore itu, pemain yangqin, Chung Hian, menitipkan pengumuman untuk dikorankan.

Maklum, sangat susah mencari peminat alat musik tersebut. Di Kelenteng Boen Bio, hanya dia yang bisa. ”Dicari pemain yangqin, nanti ada hadiah menarik. Kira-kira begitu bunyi pengumumannya,” jelas pria yang pandai melawak itu.(*/c7/dos)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *