Demi Penelitian, Evi Pernah Salat hingga Ikut Sekolah Minggu di Gereja

Evi Sutrisno, Peneliti Khonghucu Indonesia Aama Khonghucu telah melewati sejarah panjang hingga diakui sebagai agama keenam di Indonesia. Evi Sutrisno menelusuri liku-liku umat Khonghucu yang masih bertahan sejak zaman kolonial hingga kini.

SALMAN MUHIDDIN, Surabaya

”HEI, kamu kok jadi segini?” tegur Evi Sutrisno setelah menepuk pundak seorang remaja laki-laki yang berdiri di dekat pintu masuk Kelenteng Boen Bio, Minggu (29/10).

Tujuh tahun lalu, remaja itu masih bocah. Masih duduk di bangku SD. Kini tingginya sudah jauh melampaui Evi. Perempuan tersebut harus mendongakkan kepala saat menyapa remaja itu.

Setelah itu, datang rombongan remaja lain. Kali ini semuanya perempuan. Mereka juga banyak berubah. Dari anak-anak polos menjadi mahasiswi yang sudah bisa bersolek. ”Yang ini sudah cece-cece. Cantik semua. Aduh, kalian banyak berubah ya,” celetuk Evi, lalu memeluk mereka satu per satu.

Evi begitu girang. Kerinduan akan Boen Bio selama enam tahun terbayar sudah. Selama ini waktunya banyak dihabiskan untuk menuntaskan disertasi di Jurusan Antropologi University of Washington, Seattle, Amerika Serikat.

Kelenteng Boen Bio saat itu sedang ramai. Umat Khonghucu memperingati hari lahir (harlah) Ke-2.568 Nabi Kongzi. Evi tidak bisa melewatkan hari besar tersebut. Saat itulah, dia punya kesempatan untuk bertemu teman-teman lama.

Sekaligus, melengkapi dokumentasi untuk disertasinya yang bakal disampaikan tahun depan.
Perempuan keturunan Tionghoa-Jawa itu begitu lincah mendokumentasikan seluruh ritual dengan kamera DSLR yang menggantung di lehernya.

Mulai atraksi barongsai, wushu, lagu rohani, dan khotbah agama. Seluruh prosesi dia ikuti hingga tuntas.
Acara selesai pukul 13.00. Setelah menyantap nasi bihun dan capcay, Evi duduk di kursi kecil di ujung kelenteng.

Mengistirahatkan kaki yang sejak tadi tegang berdiri. Di atas Evi ada foto Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Tokoh Nahdlatul Ulama sekaligus mantan presiden Indonesia yang sangat berjasa atas pengakuan agama Khonghucu di Indonesia.

Saat masih menjabat presiden, Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 Tahun 2000. Isinya mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang dikeluarkan mantan Presiden Soeharto.

Saat itu, pemerintahan Orde Baru melakukan berbagai usaha untuk memutuskan hubungan etnis Tionghoa dengan leluhur mereka.

Wujudnya adalah larangan penerbitan dengan bahasa dan aksara Tionghoa, membatasi kegiatan keagamaan, tidak mengizinkan pergelaran perayaan hari besar Tionghoa di muka umum, melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa masuk ke sekolah negeri. ’’Nama Tionghoa juga harus diganti,” jelas perempuan asal Cepu, Blora, itu.

Nama ayah Evi, Ng Boe Siang, diganti menjadi Budi Sutrisno. Evi lahir tidak lama setelah inpres tersebut dikeluarkan. Karena itu, dia tidak memiliki nama Tionghoa. Ayahnya langsung menamainya Evi Sutrisno.

Saat masih kelas I SD, Evi beberapa kali diajak temannya yang juga etnis Tionghoa untuk pergi ke gereja atau pergi ke Sekolah Minggu. Dia mau saja dan sangat menikmati pergi ke gereja.

Teman dekat Evi lainnya berasal dari keluarga muslim taat, asli Jawa. Suatu sore, temannya diminta orang tuanya berhenti bermain untuk menunaikan salat Asar. Evi mengikuti temannya.

Mulai membasuh sebagian tubuh dengan berwudu, memakai pakaian serbaputih atau mukena, lalu memulai salat. Evi menirukan gerakan salat itu.

Setelah salat, temanya bertanya. Bagaimana cara Evi beribadah? Dia kebingungan menjawab. Temannya kembali bertanya, apa agama Evi? Evi tidak bisa menjawabnya. Pertanyaan itu akan dia tanyakan kepada ayahnya begitu sampai di rumah.

Di sekolah, gurunya selalu bilang bahwa setiap orang memiliki agama. Ada lima agama yang diakui. Ritual yang dilakukan keluarganya selama ini tidak masuk dalam lima agama tersebut.

Setiap April, saudara-saudaranya pulang kampung untuk mengunjungi makam kakek dan neneknya di Cepu. Mereka menyalakan hio dan berdoa. Dia juga sering ke kelenteng bersama ayahnya. Tapi, dia belum tahu apa agamanya.

Sepulang salat bersama temannya, Evi langsung bertanya mengenai agama kepada ayahnya. Alih-alih langsung menjawab pertanyaan Evi, ayahnya hanya menunjukkan kitab tebal hijau berbahasa Mandarin yang sama sekali tidak bisa dia baca.

Ayahnya saat itu hanya menjawab, ”Buku ini bisa jadi pedoman baik bagi manusia.” Setelah dewasa, Evi baru tahu kitab tersebut menjadi sumber ajaran agama Khonghucu.

Keluarga Evi lantas hijrah ke Kalimantan pada 1980. Tradisi Tionghoa semakin menjauh dari seluruh kehidupan Evi. Tiga puluh tahun setelahnya, dia menginjakkan kaki di Kelenteng Boen Bio dengan tujuan penelitian.

Kali ini dia sudah mafhum mengenai Khonghucu. Namun, dia ingin meneliti lebih dalam bagaimana awalnya itu diperkenalkan di Indonesia. Pada Juli 2010, dia datang ke Boen Bio. Namun, dia grogi begitu sampai di depan gerbang. ”Pengetahuanku tentang bahasa Mandarin sangat minim. Keluargaku juga sudah lama meninggalkan tradisi Khonghucu,” ujar alumnus psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Meski awalnya malu-malu, Evi ternyata mudah membaur. Umat Khonghucu di Kelenteng Boen Bio menerimanya dengan terbuka. Bahkan, beberapa kali dia diizinkan menginap di kelenteng yang terletak di Jalan Kapasan Nomor 131 tersebut. Evi pun bisa melihat ritual yang dilakukan hingga tengah malam.

Disertasi Evi membuatnya kembali menyusuri sejarah agama Khonghucu di Indonesia. Sebab, tak sedikit orang yang mempertanyakan, bahkan menggugat, bagaimana bisa Khonghucu dianggap agama di Indonesia. Padahal, di Tiongkok, Khonghucu pun tidak disebut agama. Bagi Evi, pertanyaan itu sangat relevan dengan sejarah pribadi dan minat intelektualnya.

Dia selalu teringat ayahnya yang tidak secara lugas menjawab pertanyaannya walaupun sang ayah membaca dan menghayati kitab Si Shu. Evi juga mengamati dan mengalami sendiri rezim Orde Baru yang telah mencabut warga Tionghoa dari akar leluhurnya. Dampaknya masih terasa hingga kini.

Evi meyakini bahwa konsep agama di Eropa yang memisahkan agama dari filosofi dan hukum atau kerap dikenal dengan sekularisme telah menjadi asal-usul perdebatan tersebut. Padahal, banyak tradisi di luar Eropa yang memadukan agama, filsafat, dan ajaran sebagai kesatuan yang tak terpisahkan.

Itu berlaku juga untuk ajaran Khonghucu yang memiliki dimensi keagamaan, filsafat, dan ajaran sekaligus. Studi arsip yang dilakukan Evi di Leiden dan Perpustakaan Nasional Jakarta itu dilengkapi pula dengan penelitian lapangan.

Evi ingin mendokumentasikan pergulatan dan perjuangan umat Khonghucu dari zaman ke zaman, mulai dari zaman kolonial, Orde Lama, Orde Baru, reformasi, hingga kini. Evi telah mendatangi 33 kelenteng di berbagai kota di Indonesia.

Dia juga mengunjungi sejumlah kelenteng di Singapura dan Tiongkok. Disertasi yang dia susun ditargetkan selesai musim semi tahun depan. Antara Maret-April.

Sebelum mulai menulis hasil penelitiannya, dia memang ingin mengunjungi Kelenteng Boen Bio. Untungnya, kunjungan tersebut membuatnya gembira. Enam atau tujuh tahun lalu suasana kelenteng tidak seramai sekarang. Itu terlihat dari penuhnya kursi saat harlah Nabi Kongzi yang lalu.

Enam tahun silam, jumlah umat yang datang hanya separonya. Kali ini banyak generasi muda yang turut serta. ”Perlahan tapi pasti, umat Khonghucu sudah beregenerasi,” jelas perempuan yang meluangkan waktu selama dua tahun untuk menguasai bahasa Belanda tersebut.

Evi percaya bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih agama masing-masing. Perdebatan siapa yang benar dan salah tidak perlu dilakukan. Apalagi, tokoh Khonghucu Indonesia Bingky Irawan pada 22 Oktober lalu mengatakan bahwa bukan agama yang membuat perpecahan umat manusia.

Namun, sikap dan mental manusianya yang kerap menginterpretasikan agamanya yang paling benar.
Ucapan itu disampaikan pada peletakan batu pertama Kelenteng Kebajikan di kompleks ibadah enam agama di Royal Residence, Wiyung. Evi turut hadir di acara tersebut.(*/c6/dos)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *