Kiprah Endang Pertiwi

Pengelola Kebun Raya Bogor pun Minta Bibit Mojolegi Endang masih terkenang momen diajak ayahnya ke Gunung Wilis.

Tak sekadar piknik, dia yang saat itu berusia tiga tahun juga dibekali ketapel. Dengan alat tersebut, ayahnya menyuruh melempar biji-bijian tanaman ke lahan tandus.

DINA ROSYIDHA

“Tujuannya agar biji yang dilempar tersebut bisa tumbuh dan menghijaukan tanah di sekitar situ,” ujar perempuan yang bekerja sebagai herbalis tersebut.

“Saya sudah akrab dengan alam sejak umur tiga tahun,” sambung Endang ketika menemui Jawa Pos Radar Kediri di rumahnya, Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri pada Jumat siang (20/10) yang cukup panas itu.

Ayah Endang, Sugeng Hanafi, yang kini sudah almarhum, memang senang mengajak anak sulungnya tersebut naik gunung dan melintasi hutan.

Makanya karakter mencintai pohon mengakar kuat dalam diri Endang.

Bahkan hingga kini, dia masih sering naik Gunung Wilis mendampingi para mahasiswa yang ingin melakukan penelitian tentang tanaman-tanaman gunung.

Kecintaan Endang terhadap pohon juga tercermin dari banyaknya pohon yang ditanam di rumahnya.

Ada pohon mojolegi, pohon jambu dersono putih, dan pohon-pohon langka lainnya. Pohon tersebut didapatkan ketika ayahnya berkeliling ke tempat-tempat terpencil di Indonesia.

Bahkan saking langkanya, Endang pernah dimintai bibit pohon mojolegi oleh pengelola Kebun Raya Bogor.

“Di sini banyak tanaman langka, sayang sebagian mati karena tidak cocok cuaca dan tanahnya,” beber ibu tiga anak tersebut.

Bukan tanpa hambatan, Endang seringkali mendapat perlakuan tidak mengenakkan karena menanam pohon-pohon besar di sekitar rumahnya.

Sebagian tetangganya merasa keberatan dengan daun-daun yang berguguran mengotori halaman rumah mereka.

“Nuwun sewu, kadang sampah daun-daun itu dikembalikan ke pekarangan saya,” ungkapnya sambil tersenyum.

Tidak hanya itu, ketika sedang turun hujan diikuti angin kencang, banyak yang waswas rumahnya tertimpa pohon tumbang dari halaman rumah di RT 06/RW 03 Bujel tersebut.

Makanya Endang sering mengajak berbincang pohon-pohonnya agar tidak sampai merusak pekarangan rumah tetangganya.

“Pohon juga makhluk hidup seperti kita. Pas hujan gitu, sering saya ajak zikir supaya tidak sampai tumbang merusak lingkungan sekitar,” tandas perempuan yang juga menjadi pembentuk komunitas lingkungan 3R (reduce, reuse, recycle) ini.

Ternyata benar, suatu ketika ada pohon durian yang tumbang. Namun tidak sampai merusak perumahan lain. Bahkan tidak sampai menimbulkan suara berisik.

“Jadi tumbangnya perlahan-lahan, suami saya yang lihat langsung cuma bisa bengong sambil jongkok karena terlalu kaget,” terangnya sambil tertawa.

Hingga saat ini, Endang terus mengampanyekan pentingnya penanaman pohon. Tidak hanya itu, pemanfaatan sampah juga efektif menghambat terjadinya pemanasan global.

Makanya saat ini aktivitas komunitas yang dibentuknya juga fokus pada kegiatan clean up hingga pemanfaatan sampah.

“Seperti kemarin, kita clean up sungai, mencabuti paku pada pohon hingga bersih-bersih di tempat wisata,” katanya.

Suasana di tempat tinggal Endang memang terkesan alami dan sejuk. Memasuki halaman rumahnya, berembus hawa segar dan angin sepoi-sepoi.

Suasana teduh menyelimuti di antara rimbunnya pohon-pohon besar di depan griya bercat hijau tersebut. Tampak setumpuk barang bekas, seperti kardus hingga botol bekas, teronggok di sisi kanan halaman rumah.

Meski demikian, timbunan barang bekas itu sangat rapi dan tertata. Sehingga tidak mengotori kesan bersih yang dimunculkan dari halaman yang minim sampah dedaunan tersebut.

Ternyata barang bekas itu adalah hasil tabungan dari bank sampah yang dikelolanya. “Ini belum kami jual lagi, menunggu harganya bagus,” terang Endang yang menggagas bank sampah Hijau Daun ini.

Ketika wartawan koran ini berada di teras, hawanya tidak kalah sejuk. Ada banyak etalase yang ditempatkan di sana. Bukan untuk barang dagangan.

Isinya sebagian besar adalah barang-barang daur ulang dari bungkus makanan maupun botol-botol bekas. Ada yang bentuknya sandal, ada beberapa model tas, keranjang, bunga, hingga miniatur gelas berkaki.

“Barang-barang ini terbuat dari sampah yang dikumpulkan ibu-ibu di bank sampah,” tambah perempuan 49 tahun tersebut.

Di sisi kiri teras, ada dinding dari kayu yang disusun vertikal dan tidak rapat. Ornamen tersebut semakin membuat kesan natural di teras rumah Endang yang sederhana.

Di sana tergantung berbagai jenis piagam penghargaan yang pernah diraihnya sebagai aktivis lingkungan.(rk/dna/die/JPR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *