Bukan ‘Pribumi’

DALAM kitab suci Alquran Surat Al-baqarah ayat 38 berbunyi “Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

Terjemahan surat ini menandakan bahwa kita sebagai umat manusia mempercayai bahwa Nabi Adam As adalah manusia pertama yang diciptakan tuhan. Kemudian akibat kesalahan melanggar aturan tuhan, Nabi Adam As bersama istrinya Hawa diturunkan dari Surga ke Bumi.

Bacaan Lainnya

Bahkan kisah tentang Nabi Adam As terdapat juga dalam Kitab Kejadian pada Torah atau Taurat (Perjanjian lama) dan Alkitab atau Injil (Perjanjian baru) pasal 2 dan 3, dan sedikit disinggung pada pasal 4 dan 5. Dan beberapa rincian lain tentang kehidupan Nabi Adam As dapat ditemukan dalam kitab-kitab apokrifa, seperti Kitab Yobel, Kehidupan Nabi Adam As dan Hawa, dan Kitab Henokh.


Dari sejumlah kitab yang sampai saat ini masih diyakini oleh masing-masing pemeluknya semua sepakat, tempat asal manusia sebetulnya bukan di bumi, melainkan surga. Jadi jelas bahwa manusia sebetulnya tinggal di bumi bukan selamanya tapi sementara, bumi adalah persinggahan manusia untuk menuju proses selanjutnya.
Dengan itu saya berpikir, bahwa harusnya sebagai warga pendatang di bumi manusia jangan terlalu bangga mengaku ‘pribumi’ karena kita disini hanya tamu bukan warga asli bumi.

Bahkan, Nabi Adam As juga tercatat di bumi hanya 930 tahun dan kemudian dipanggil kembali tuhan (meninggal). Begitu pun Hawa setelah melewati suka dan duka hingga menghasilkan keturunan yang beraneka ragam bentuknya, juga pergi meninggalkan bumi.

Jadi, saya merasa tak ada yang perlu dijadikan pembeda antara pribumi dan non pribumi, toh semua manusia adalah pendatang. Memang dalam konteks sosial masyarakat Indonesia modern, istilah ‘pribumi’ mengacu pada identitas orang asli di daerah tertentu. Secara umum kita mengenal klasifikasi umum etnis kesukuan lokal Indonesia, misalnya orang Batak itu di Sumatera Utara, orang Sunda itu di Banten dan Jawa Barat, orang Minang di Sumatera Barat, orang Bugis di Sulawesi Selatan, orang Dayak di Kalimantan Tengah dan Barat, Orang Papua Di Irian Jaya, orang betawi di Jakarta dan lain-lain.

Kata ‘pribumi’ Sejak Senin (16/10) menjadi tenar melebihi ketenaran sebelumnya, dikotomi antar istilah ‘pribumi’ dan ‘pendatang’ menjadi polemik tersendiri dalam konteks sosial bermasyarakat. Hal itu terjadi setelah digoyang oleh Pidato ‘dog-whistle politics’ Gubernur terpilih DKI Jakarta Anies Baswedan usai dilantik.

Akibat ini, muncul dua kelompok yang mendukung dan menyalahkan pak Gubernur Anies. Saya rasa ada yang salah, kok mereka saling serang argumen baik di media sosial (medsos) atau di dunia nyata melalui media-media Online. Padahal kalau berpikir cerdas tak ada yang benar-benar warga ‘pribumi’ asli, yang ada warga bumi yang bersatu dalam sebuah negara dari hasil migrasi-migrasi manusia ke Nusantara.

Berdasarkan sejarah terbentuknya warga Indonesia dulu dalam perkembangan umat manusia di tanah Ibu Pertiwi ini, sebetulnya tidak ada namanya yang benar-benar warga pribumi. Tinjauan sejarah pun menjelaskan, bahwa bangsa ini terbentuk dari beberapa kelompok yang melakukan migrasi. Perlu kita mengkaji, sebenarnya siapakah orang asli pribumi Indonesia. Siapa Kelompok manusia pertama yang datang ke Nusantara, hingga kelompok-kelompok berikutnya berdatangan.

Semoga dengan sedikit mengkaji saya berharap manusia saat ini semakin paham konteks ‘pribumi’ dan ‘pendatang’, sekaligus menjawab siapakah orang yang pantas disebut sebagai orang asli pribumi Indonesia, dan siapakah yang sebetulnya ‘hanya’ kaum pendatang. Pada akhirnya toh, semua akan mengerucut bahwa kita adalah pendatang.

Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis hingga Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan sudah jelas diatur, jadi kata Pribumi di Indonesia sudah tepat diganti dengan kata WNI.

Pada Akhirnya saya menilai, jika manusia di negara ini masih mempersalahkan hal yang jauh ke belakang tentang siapa yang ‘pribumi’ dan siapa yang pendatang, maka pemikiran bangsa ini tidak akan maju ke depan. Sebagai bangsa yang memiliki beragam budaya dan suku bahasa sudah seharusnya kita bersama-sama bahu membahu menciptakan tatanan kehidupan yang maju. Tuhan, sudah menakdirkan manusia di Negara ini dengan berbeda-beda, maka dengan perbedaan yang manusia miliki seharusnya bisa saling mengisi bukan saling mencaci. Lalu, mau dengan siapa lagi kita bergandengan tangan kalau bukan sesama kita (WNI) meski berlatarbelakang beda-beda. Itulah, kelebihan Indonesia.

Karena konteks pribumi sebetulnya ditafsirkan bahwa yang disebut ‘pribumi’ itu adalah manusia yang lebih dulu menempati sebuah wilayah. Tapi, kalau mengkaji sejarah warga pribumi bukan berarti warga asli murni suatu wilayah, tapi merupakan percampuran perkumpulan yang berhimpun di dalam suatu negara dengan didasari satu aturan negara. Hingga ketika ada pendatang dari negara lain, negara ini mengaturnya dengan sebutan WNA.

Meski begitu saya sangat setuju apa yang dimaksud pidato pertama Gubernur DKI itu, konteks yang dibicarakan Anies Baswedan sebetulnya mengajak bangsa ini untuk waspadai orang pendatang (WNA) memainkan peran dalam pembangunan, politik dan ekonomi hingga merugikan warga yang sudah bersatu di bawah NKRI. Tapi, mestinya Pak Gubernur tidak menyampaikan maksud itu di publik, cukup memainkan peran dalam mengambil kebijakan yang berpihak kepada ‘Pribumi’ dalam hal ini WNI yang diakui negara. Tujuannya, Agar kebijakan yang ditetapkan pemimpin-pemimpin bangsa ini tidak berkhianat dan mengebiri warga sendiri demi kepentingan Asing.

Untuk itu, dari pada ikut meributkan hal yang sebetulnya tidak berdampak pada kemajuan sebuah bangsa lebih baik diam saja. Karena, dengan ikut-ikutan ke dalam kecemasan antara yang pro dan kontra bisa menimbulkan konflik berkepanjangan. Semua warga negara pasti sepakat bahwa dengan hidup bernegara dan berbangsa secara bergandengan bisa menciptakan kehidupan aman damai akibat saling mengisi bukan mencaci.

Saya harap, bagi yang ingin ikut dalam Konflik tersebut apakah kita bisa cukup dewasa untuk memperdebatkan hal itu. Padahal jelas, bahwa isu ini sengaja dimunculkan, agar masyarakat bangsa ini berhasil di adu domba hingga pada akhirnya bangsa asinglah yang masuk kembali ke Ibu pertiwi. Jika kita meributkan mana Pribumi mana bukan, itu adalah urusan admistrasi negara, yang terpenting laikkah kita mengaku seorang pribumi jika tanah, gunung dan laut sendiri dibiarkan hancur oleh orang yang mengaku pribumi. Semoga, kita bukan oknum pribumi yang membantu warga asing menjarah kekayaan bangsanya sendiri. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *