YOHANES SIKI, Kefamenanu

Pasar Perbatasan Indonesia-Timor Leste, Ajang Temu Kangen Keluarga Beda Negara
Ber-Talepo, Berbagi Cerita dan Makanan-Minuman

Di Jumat terakhir tiap bulan, warga Indonesia dan Timor Leste berkesempatan bertemu ayah, ibu, atau kerabat lain di pasar perbatasan. Umumnya mereka terpisah sejak referendum 1999.

JUMAT terakhir tiap bulan adalah hari yang selalu ditunggu Jakobus Dacrus Salu. Pergi ke pasar perbatasan dan menuntaskan kerinduan kepada ayah, ibu, serta kerabat lain.

Itu pula yang dilakukannya pada Jumat pekan lalu (24/9). Di sela keramaian pasar yang persis terletak di perbatasan Indonesia-Timor Leste, Jakobus dan keluarga berbagi cerita, senda gurau, dan makanan serta minuman.
Tak perlu tempat khusus. Cukup di bawah salah satu pohon

rindang, mereka ber-talepo alias duduk bersila dan melingkar. Tanpa alas.

“Kalau mau lepas kangen seperti saat ini tinggal saja pesan (lewat telepon atau perantaraan tetangga) untuk ketemu di hari pasar. Sekarang tidak susah lagi bertemu orang tua,” kata guru SD di Bikomi Tengah, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, tersebut.

Jakobus, warga Suku Kiukole, itu lahir 47 tahun silam di Oecusse yang kini masuk wilayah Timor Leste. Sejak referendum pada 1999 yang berbuntut lepasnya Timor-Timur (kini Timor Leste) dari Indonesia, Jakobus pun berpisah dengan keluarga besarnya yang menetap di Oecusse.

Tapi, pasar perbatasan di Desa Napan, Kecamatan Bikomi Utara, TTU itu menjadi penawar rindu. Bukan hanya buat Jakobus, tapi warga di perbatasan kedua negara yang sebenarnya masih bertalian darah atau suku itu.

Pasar tersebut mulai ada sejak 2010. Buka dari pukul 09.00 WIT sampai pukul 16.00 WIT. Menurut Kepala Desa Napan Yohanes Anunu, semula pedagang dari kedua negara sepakat pasar berlangsung empat kali dalam sebulan.

“Tapi, setelah berjalan dua tahun, karena pertimbangan tertentu, diubah jadi sekali sebulan,” katanya.
Meski frekuensi berkurang, pasar itu tetap sangat berarti bagi warga di kedua sisi perbatasan.

Kesempatan berbelanja itu nomor dua. Yang jauh lebih penting adalah hari pasar itu mempertemukan mereka dengan keluarga yang dirindukan.

“Saya punya keluarga semua di dalam (Oecusse). Kalau tidak biasa jumpa, pasti anak-anak saya tidak kenal keluarga saya,” kata Jakobus.

Hal serupa disampaikan Yasinto Suni, 57, warga Suku Teboko, Oecusse Timor Leste. Ia mengaku kehadiran pasar perbatasan sangat membantu warga dua negara.

“Pasar rakyat hadir untuk menyatukan kami, selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kami jadi bisa melepas kangen bersama keluarga di Indonesia,” kata Yasinto.

Seperti terpantau Timor Express (Jawa Pos Group) pada Jumat pekan lalu, barang-barang dagangan dijajakan di sepanjang ruas jalan hingga tapal batas kedua negara pun tak tampak.

Di sisi Indonesia, misalnya, segala jenis sembako lengkap tersedia. Di bagian Timor Leste, juga ada beras, gula pasir, dan minuman beralkohol. Di hari itu, sisi Indonesia tampak lebih ramai.

Dulu sebelum ada pasar, “jalan tikus” menjadi pilihan satu-satunya untuk urusan sosial, adat, nikah, kematian, temu kangen, bahkan aktivitas bisnis antar warga kedua negara di perbatasan.

Permasalahan pelintas ilegal seperti jalur Pos Napan pun sering menjadi pemicu karena melibatkan kekerasan. Tiga jalur ilegal yang kerap dilintasi adalah Gunung Putih, Noel Ekat, dan jalur tengah.

Menurut Yohanes, kehadiran bantuan kartu Lintas Batas Negara (LBN) gratis untuk semua warga di wilayah kecamatannya memang sangat membantu. Apalagi, masa berlakunya 10 hari.

Hanya masalahnya, butuh transportasi yang besar saat melintas hingga sampai ke alamat keluarga yang dituju.

Karena itu, pasar perbatasan di Desa Napan adalah solusi paling tepat. Sebab, mudah diakses warga kedua negara tanpa membutuhkan biaya besar.

Hanya Yohanes mengusulkan kepada otoritas yang berwenang agar bangunannya dibenahi. sehingga bisa menampung semua pedagang dan pengunjung.

Bahkan perlu dibangun ruang khusus untuk dimanfaatkan sebagai temu kangen.

Sebab, Yohanes menilai sangat tidak etis bila memanfaatkan rindangan pepohonan untuk ber-talepo demi meluapkan rasa kangen.

“Bangunan pasar kondisinya memprihatinkan karena ruang gedung sudah rusak dan terbatas jumlahnya.

Sehingga sepanjang ruas jalan dimanfaatkan untuk pajang barang jualannya di terpal darurat,” katanya.
Agustinus Siki, legislator di DPRD TTU juga menilai perlu ada kejelasan siapa penanggung jawab pengelolaannya.

“Sebab, sejak dibuka pada 2010 tak pernah jelas,” katanya.
Jumat pekan lalu itu pun kian beranjak senja. Jelang pukul 16.00 WIT, petugas keamanan berkeliling.

Mengingatkan para pedagang dan pengunjung untuk bubar. Tak sedikit yang tampak enggan karena merasa belum puas menuntaskan rindu dengan orang-orang terkasih.

Karena itu, meski mengaku akan sangat senang jika kelak pasar perbatasan itu dibenahi, yang terpenting bagi Yasinto sekarang adalah menambah frekuensi jam buka.

Perlu dibuka dua kali dalam sebulan sehingga pertemuan dengan keluarga di kedua sisi perbatasan bisa lebih intensif.

“Kalau bisa pemerintah dua negara bisa sepakat untuk buka hari pasar sebulan dua kali. Jangan hanya sekali saja,” pintanya. (*/mg24/ito/JPG/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *